Senin, 29 September 2014

Keindahan Lahir

Keindahan Lahir

Keindahan lahir ialah hiasan yang secara khusus diberikan Allah kepada sebagian rupa, dan sebagian lain tidak diberi-Nya. Hal ini termasuk tambahan dalam penciptaan, sebagaimana diriman-Nya,
يَزِيْدُ فِى الْخَلْقِ مَا يَشَاءُ. (فاطر:1)
“Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.” (Faathir: 1)
Menurut para ulama, maksudnya adalah suara yang merdu dan rupa yang elok. Hati manusia tercetak dengan nama seseorang yang dicintainya, sebagaimana dia difitrahkan untuk mencari mana yang lebih baik baginya.
Telah disebutkan di dalam hadits shahih, dari Nabi Shalallahu’alaihi wa Salam, beliau bersabda,
لَايَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ، الرَّجُلُ يُحِبُّ أَنْ تَكُوْنَ نعله حَسَنَةً وَثَوْبَهُ  حَسَنًا أَفَذَلِكَ مِنَ الْكِبْر؟ فَقَالَ: لَا، إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ أالْجَمَالَ. الْكِبْرُ بَطًرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ. (رواه مسلم و أبو داود والترمذى)
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya ada kesombongan sekalipun hanya seberat biji sawi.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, seseorang suka agar terompahnya bagus dan bajunya bagus. Apakah yang demikian itu termasuk kesombongan?” Beliau menjawab, “Tidak. Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak terhadap kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzy).
Mengenakan terompah (sandal) atau pakaian yang bagus tidak apa-apa, selagi hal itu diniatkan karena Allah. Tandanya, dia harus menganggap dirinya hina dan kecil. Tapi jika dia menghina orang lain dan menganggap dirinya hebat, maka dialah orang yang tidak akan maasuk surga.

Sumber: Taman-taman Orang Jatuh Cinta dan Memendam Rindu Oleh Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah hal. 188-189


Rabu, 17 September 2014

Aku Harta Termahal Bagimu

Diantara kita mungkin ada yang baru saja membeli sepeda motor baru, fresh dari dealer. Suatu ketika kita pergi ke sebuah tempat, misalnya saja pasar, menggunakan motor tersebut. Sesampainya di sana, kita akan meletakkan motor kita di tempat parkir dengan sangat hati-hati. Kita merasa tidak tenang apakah motor kita akan baik-baik saja.
Sesampainya di dalam pasar, pikiran kita masih tertuju pada motor baru kita. Was-was dan takut melintas di benak kita. Jangan-jangan motorku lecet terkena gesekan motor lainnya, jangan-jangan motorku hilang, jangan-jangan… Hingga akhirnya rencana belanja dengan tenang pun berubah menjadi tergesa-gesa. Itulah diri kita, masih memiliki ketakutan terhadap harta yang baru saja kita miliki. Kita terlampau mencintai harta kita. Pdahal harta itu hakekatnya bukan milik kita melainkan hanya titipan dari Pemberi rezeki yaitu Allah ‘azza wa Jalla.
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا
”Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al Fajr: 20)
Jika terhadap motor baru saja kita bisa sedemikian cintanya, begitu takut kehilangannya maka bagaimana pula dengan harta yang lebih besar nilainya dari itu? Harta yang akan menjadikan kita mendapatkan keluasan tempat di dalam kubur, harta yang akan menaikkan derajat kita di sisi Allah kelak?
Harta itu tak lain adalah anak keturunan kita. Apakah kita sudah memiliki rasa cinta padanya? Apakah kita sudah melakukan upaya agar ia tak tergores dan tidak diletakkan di sembarang tempat? Mari, koreksi diri kita mading-masing. Lebih berharga mana diantara keduanya. Jika motor saja kita lindungi, kenapa anak kita biarkan terlantar tanpa cinta, didikan dan perlindungan kita sebagai orang tuanya?
Ingatlah akan firman Allah Ta’ala
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Dalam ayat tersebut kita diperintah Allah untuk memelihara keluarga kita dari api neraka. Memelihara berarti senantiasa dilakukan sepanjang masa, dengan cara mendidiknya, mencintainya, menyayanginya, menempanya agar menjadi insan yang memiliki keimanan terhadap Rabbnya.
Ayah, kepada siapa kau berikan senyummu..
Jika ada seorang ayah yang berdalih sibuk bekerja mencari uang untuk keluarganya hingga ia tidak mampu lagi mengumbar kata dan senyuman di depan keluarga khususnya anak-anaknya, maka kita akan katakan padanya Wahai ayah, kepada siapa kau berikan senyummu?
Tahukah engkau, istri dan anakmu tak akan bahagia hanya dengan uang dan perhiasan, sedangkan mereka serasa terabaikan keberadaannya. Mengapa tak kau cari uang itu secukupnya saja, lalu engkau kembali ke rumahmu dengan senyuman penuh rindu. Engkau ajari keluargamu ilmu dan akhlak, hingga kau akan merasa takut bila mereka tak terlindungi dari api neraka. Tahukah engkau wahai para ayah, anakmu membutuhkan bukti kehebatanmu sebagai seorang pemimpin keluarga.
Ibu, aku ingin sekolah bersamamu…
Miris, manakala kita temui anak-anak yang telah disekolahkan terlalu sangat dini (baca baby day’s school). Usia 3 bulan sudah harus berpisah dari ibunya dalam sekian jam. Usia dimana ia masih berusaha mengenali suara yang paling sering muncul di sekitarnya. Apa dalihmu di hadapan Allah kelak, duhai ibu? Bekerjakah? Tak adakah pilihan lain selain meletakkan bayi mungilmu di sebuah tempat yang engkau anggap sebagai tempat ternyaman baginya?
Sungguh bekerja bagimu bukanlah materi soal yang akan diujikan di akhirat kelak, tapi melindungi, merawat dan mendidik anakmu sejak dalam kandungan adalah PR yang harus engkau siapkan jawabannya sejak saat ini. Tidakkah engkau cemburu duhai ibu manakala anakmu lebih dekat dengan wanita yang tidak melahirkannya? Tidakkah engkau merasa sangat kehilangan kesempatan mendapatkan pahala berlipat ganda manakala anakmu belajar dari pengajaran orang lain? Tidakkah engkau takut wahai ibu tatkala anakmu lebih menyayangi dan mendoakan orang lain? Jika saja bayimu bisa berkata, mungkian ia akan berkata; “Ibu, aku ingin sekolah bersamamu.”
Barang titipan wajib dijaga
Anak adalah titipan dan amanah dari Allah. Wajib bagi kita untuk menjaganya, memberikan semua yang ia butuhkan bukan yang ia inginkan, mendidiknya dengan cinta dan akhlak, menyiapkannya menjadi manusia yang mulia di sisi Allah. Hingga kebahagian dunia akhirat yang akan kita rasakan.
Jika motor saja begitu berharga bagimu maka anak adalah harta yang paling berharga diantara barang termahal bagimu. Wajib untuk engkau jaga.
Allahu a’ lam bish showab
***
Penulis: Ummu Inas Yuli Erawati
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
Catatan redaksi: Tulisan ini adalah renungan kepada para wanita untuk memperhatikan kewajiban utamanya sebagai wanita yaitu mengurus keluarga dan anak-anaknya. Adapun mengenai wanita bekerja, hal ini tidak dilarang dengan beberapa ketentuan. Dan terkadang, pada beberapa kondisi seorang wanita dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kewajiban mengurus anak dan tuntutan untuk bekerja. Maka bisa jadi secara kasuistik tiap orang berbeda-beda, maka bisa ditimbang mashlahat dan madharatnya, mana yang lebih banyak mashlahatnya dan lebih sedikit madharatnya. Semoga Allah memberi jalan keluar yang terbaik untuk kita semua.
Artikel WanitaSalihah.Com

Melegalkan Maksiat dengan Alasan Takdir

 
Segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat. Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, seringkali kita menemukan sebagian orang melegalkan kemaksiatan dengan alasan perbuatan tersebut sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Benarkah keyakinan seperti ini? Dengan memohon pertolongan Allah, tulisan ringkas ini akan memaparkan hukum orang yang menjadikan takdir sebagai alasan untuk melegalkan maksiat.
 
Hakikat Iman Kepada Takdir
Iman kepada takdir adalah seorang hamba mengetahui, meyakini, dan mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan ciptaan Allah, segala sesuatu telah didahului oleh takdir, dan Allah Maha Mengetahui keadaan serta rincian sebelum menciptakannya, kemudian Allah menuliskan semua itu. [1]
Iman kepada takdir Allah terdiri dari 4 tingkatan. Tingkatan pertama, meyakini bahwasanya Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu secara global maupun rinci, sejak azali hingga selamanya, baik yang berhubungan dengan perbuatan Allah atau dengan perbuatan hamba-Nya. Tingkatan kedua, meyakini bahwasanya Allah telah menuliskan semua itu di al-Lauh al-Mahfuzh. Tingkatan ketiga, meyakini bahwasanya seluruh kejadian tidaklah terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Tingkatan keempat, meyakini bahwasanya segala sesuatu yang ada di jagat raya adalah ciptaan Allah baik dzat, sifat, ataupun gerakannya. [2]
 
Bermaksiat Dengan Alasaan Takdir
Keimanan terhadap takdir Allah tidaklah menafikan adanya kehendak bagi seorang hamba untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini berdasarkan dalil syar’i dan kenyataan yang ada. Mengenai penetapan adanya kehendak atau kemauan bagi manusia, Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an,
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا
Artinya: “Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Naba’: 39).
Allah Ta’ala juga berfirman,
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
Artinya: “(yaitu) Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (QS. At Takwir: 28).
Kenyataan yang ada juga menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui dirinya memiliki kehendak dan kemampuan yang dengannya seseorang dapat memutuskan untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukannya.
Keimanan terhadap takdir Allah tidaklah dapat menjadi alasan bagi seorang hamba untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan. Dan alasan tersebut adalah batil dilihat dari beberapa sisi, diantaranya:
Pertama, firman Allah Ta’ala,
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا
Artinya: “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan,  ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun’. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.” (QS. Al An’am: 148).
Ayat ini menunjukkan bahwa meskipun mereka beralasan dengan takdir, Allah tetap menyiksa mereka. Maka, perbuatan orang-orang musyrik tersebut tidak diperbolehkan dalam syari’at karena Allah menyiksa mereka. Jika perbuatan mereka benar tentu Allah tidak akan menyiksa mereka.
Kedua, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dengan lafazh dari Al Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Tidak ada seorang pun diantara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.” Maka seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kami bersandar dengan apa yang telah ditetapkan untuk kami?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan, tetap beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan.” Beliau kemudian membaca ayat,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,” (QS. Al Lail : 5).
Dan dalam riwayat Muslim (artinya),“Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang ditakdirkan untuknya.”
Dari hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk beramal dan melarang bersandar kepada takdir. [3]  
 
Tidak Semua Hal yang Allah Kehendaki, Allah Cintai
Iradah (kehendak) Allah terdiri dari dua jenis, yaitu iradah kauniyyah dan syar’iyyah. Iradah syar’iyyah adalah kehendak Allah untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Sedangkan iradah kauniyyah adalah kehendak Allah atas segala hal yang terjadi, [4] termasuk di dalamnya adalah segala perbuatan hamba. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya Allah tidaklah mencintai dan tidak meridhoi perbuatan maksiat yang telah dilakukan oleh seorang hamba meskipun Allah menghendaki hal tersebut terjadi.
 
Antara Kehendak Allah dan Kehendak Makhluk
Perlu diketahui bahwa dalam melakukan suatu perbuatan, seorang hamba tidak begitu saja dapat melakukan apa pun sesuai kehendak dan kemampuannya. Allah Ta’ala menggantungkan dan mengikat kehendak hamba dengan kehendak-Nya. Para salaful ummah dan imam-imam mereka meyakini bahwa seluruh perbuatan ketaatan, kemaksiatan, kekufuran, dan kerusakan, terjadi sesuai qadha’ (ketentuan) dan takdir Allah, bukan selain-Nya. Semua perbuatan hamba merupakan ciptaan Allah, yang baik maupun yang buruk, yang terpuji maupun yang tercela. [5]
 
Sikap Ahlussunnah dalam Menyikapi Takdir dan Perbuatan Hamba
Ahlussunnah meyakini bahwa setiap ketaatan, kemaksiatan, kekufuran, dan kerusakan terjadi karena takdir Allah. Tidak ada pencipta selain-Nya. Seluruh perbuatan hamba diciptakan Allah, baik berupa amal shalih maupun amal buruk. Akan tetapi, seorang hamba tidaklah dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Bahkan dialah yang mengerjakan dan melakukannya atas dasar kesadaran dan kemampuan untuk memilih perbuatan yang mengantarkan mereka kepada ketaatan atau kemaksiatan. Hanya saja, semua terjadi atas kemampuan, keperkasaan, dan kehendak Allah Ta’ala. [6]
 
Kelompok yang Menyimpang Dalam Masalah Ini
Dalam menyikapi masalah takdir, terdapat beberapa kelompok yang memiliki pemikiran yang menyimpang. Jabriyah menyatakan bahwa manusia dipaksa dalam melakukan perbuatannya dan tidak memiliki kehendak dan kemampuan. Sebaliknya golongan Qadariyah berpandangan bahwa manusia memiliki kehendak mandiri yang tidak tergantung kepada kehendak Allah, bahkan manusia yang menciptakan perbuatan, kemauan, dan kehendaknya yang terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Tetapi syubhat tersebut dapat dipatahkan dengan firman Allah Ta’ala,
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
Artinya: “(yaitu) Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (QS. At Takwir: 28).
Ayat ini membantah kelompok Jabriyah yang berpandangan bahwa manusia dipaksa atas perbuatannya, padahal Allah telah menetapkan bahwa manusia memiliki kemauan dan kehendak. Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa manusia dipaksa atas perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman pada ayat selanjutnya,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir: 28).
Ayat ini membantah kelompok Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia mandiri dalam kehendaknya dan dialah yang menciptakan perbuatannya, padahal Allah menetapkan bahwa kehendak hamba tergantung kepada kehendak-Nya. [7]
 
Demikianlah yang seharusnya diyakini dan dilakukan oleh seorang muslim dalam menyikapi takdir. Dalam penutup ini, dapat disimpulkan bahwa takdir tidaklah dapat dijadikan alasan bagi seseorang untuk melegalkan perbuatan maksiat yang dilakukannya. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi kita untuk menempuh jalan yang lurus.
 
 
Penulis : Ummu Fathimah Maria Nova Nurfitri
 
Maraji:
[1] Syarh Ats Tsalatsatul Ushul dalam Jami’ Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 497, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh
[2] Jami’ Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 253-254, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
[3] Jami’ Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 254-255, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
[4] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 80-81, Al Imam Al Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abil ‘Izzi Ad Damasyqi
[5] Al Irsyad Ila Shahihil I’tiqad Warraddi ‘ala Ahlilsyriki wal ‘Inad, hal. 227, Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan
[6] Akidah Muslim, hal. 342, Zaenal Abidin bin Syamsudin
[7] Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Akidah Muslim, hal. 342-343, Zaenal Abidin bin Syamsudin
 
 
Leave a Reply

Minggu, 14 September 2014

Suami-Istri: Jangan Ada Gadget/Hape Di Antara Kita Mulai Malam Ini

Mungkin pernyataan antar suami-istri ini tepat:
“Jangan ada Handphone di antara kita malam ini”
Artinya pada waktu malam menjelang tidur, di mana anak-anak sudah mulai tidur. Suami-istri hanya sibuk dengan handphone masing-masing, karena memang berselancar dunia maya sangat mangasyikkan, belum lagi berbagai macam media sosial. Sehingga tepatlah jika di katakan:
“Yang dekat jadi jauh, yang jauh jadi dekat”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bercengkrama bersama istrinya sebelum tidur. Saling berbagi, saling curhat dan mencari solusi bersama permasalahan rumah tangga. Mengenai pendidikan akan, urusan dengan keluarga dan tetangga atau sekedar bercanda yang di mana canda suami istri adalah berpahala, sedangkan bercanda  kebanyakan melalaikan, tetapi bercanda dengan istri justru berpahala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
كُلُّ شَيْئٍ يَلْهُو بِهِ ابْن آدَمَ فَهُوَ بَاطِلٌ إِلاَّ ثَلاَثًا رَمْيُهُ عَىْ قَوْسِهِ وَ تَأْدِيْبُهُ فَرْسَهُ و  مُلاَعَبَتُهُ أَهْلَهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الْحَقِّ
 ”Segala sesuatu yang dijadikan permainan oleh anak Adam adalah bathil, kecuali tiga perkara, melepaskan panah dari busurnya, latihan berkuda, dan senda gurau (mula’abah) bersama keluarganya, karena itu adalah hak bagi mereka.”[1]
Al-Khattabi rahimahullah berkata,
قَال الْخَطَّابِيُّ : فِي هَذَا بَيَانُ أَنَّ جَمِيعَ أَنْوَاعِ اللَّهْوِ مَحْظُورَةٌ ، وَإِنَّمَا اسْتَثْنَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Pada hadits ini terdapat penjelasan bahwa semua jenis permainan yang bisa melalaikan adalah terlarang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecualikannya (pada hadits)”[2]

Contoh dari tauladan kita
Kami sebutkan salah satu contoh saja dari sekian banyak contoh kebiasaan beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu kisah abu dan ummu Zar’ merupakan kisah yang panjang nan romantis diceritakan oleh ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan dengan seksama cerita yang cukup panjang dari ‘Aisyah dan memberikan beberapa komentar mengenai kehangatan dan romantisme kisah mereka.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Aisyah,
كُنْتُ لَكِ كَأَبِي زَرْعٍ لِأُمِّ زَرْعٍ إِلاَّ أَنَّ أَبَا زَرْعٍ طَلَّقَ وَأَنَا لاَ أُطَلِّقُ
“Aku bagimu seperti Abu Zar’ seperti Ummu Zar’ hanya saja Abu Zar’ mencerai dan aku tidak mencerai”[3]
kemudian Aisyah radhiallahu ‘anha membalas dengan romantis lagi,
يَا رَسُوْلَ اللهِ بَلْ أَنْتَ خَيْرٌ إِلَيَّ مِنْ أَبِي زَرْعٍ
“Wahai Rasulullah, bahkan engkau lebih baik kepadaku dari pada Abu Zar’”[4]

Demikian semoga bermanfaat

@RS Mitra Sehat, Wates,  Yogyakarta Tercinta
silahkan like fanspage FB dan follow twitter
Add Pin BB www.muslimafiyah.com kedua 7C9E0EC3, Grup telegram Putra (+6289685112245), putri (+6281938562452)

[1] HR. Ath-Thabrani dalam Al-Kabir , Silsilah As-Shahihah no. 309
[2] Sumber: http://islamqa.info/ar/152936
[3] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XXIII/173 no 270
[4] HR An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubro V/358 no 9139

Pakai Jilbab di Luar Rumah, Lepas Jilbab di Dalam Rumah, Sudah Benarkah?

Manusia itu terlahir sebagai makhluk yang tidak tahu apa-apa. Tapi Allah memberinya akal sebagai modal untuk mempelajari ilmu. Ilmu menjadi bekal untuk beramal.
Dengan mengetahui bumbu dapur dan teknik mengolah makanan, seseoranginsya Allah akan lihai dalam memasak.
Dengan kemampuan membaca, seorang anak insya Allah bisa memperluas cakrawala lewat berbagai buku.
Dengan mengetahui ilmu medis, seorang dokter insya Allah akan mampu mengobati pasien.
Dengan ilmu teknik, seorang ilmuwan insya Allah bisa membangun jembatan yang kokoh.
Demikian pula dengan ilmu agama. Hari ini mungkin kita sudah mengetahui perkara A, maka kita mengamalkannya. Kemudian esok, kita mengetahui perkara B, kemudian kita mengamalkannya. Begitulah terus hingga kita wafat. Ilmu itu bermanfaat karena berbuah amal salih. Apa gunanya ilmu kalau tidak diamalkan?
18 golongan orang
Jilbab adalah salah satu syariat Islam yang bermanfaat menjaga kehormatan wanita. Seluruh aurat ditutup dari pandangan lelaki yang bukan mahram, di mana pun itu.
Oleh sebab itu,
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْتُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada para wanita beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka. Dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara lelaki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 31)
Ayat di atas merinci beberapa orang. Seorang wanita muslimah boleh melepas jilbab di hadapan mereka. Mari kita runut kembali:
  • Suami.
  • Ayah.
  • Ayah suami (mertua).
  • Putra (anak lelaki kandung).
  • Putra suami (anak lelaki tiri).
  • Saudara laki-laki.
  • Putra saudara lelaki (keponakan lelaki dari saudara lelaki).
  • Putra saudara perempuan (keponakan lelaki dari saudara perempuan).
  • Wanita-wanita Islam.
  • Budak-budak.
  • Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)*)
  • Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ الأَخِ وَبَنَاتُ الأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَآئِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ وَأَن تَجْمَعُواْ بَيْنَ الأُخْتَيْنِ إَلاَّ مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللّهَ كَانَ غَفُوراً رَّحِيماً
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri. Tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)
Adapun pada surat An-Nisa di atas, disebutkan wanita yang menjadi mahram bagi seorang lelaki. Mari kita runut kembali.
  • Ibu.
  • Anak perempuan.
  • Saudara perempuan.
  • Saudara bapakmu yang perempuan (tante/bibi).
  • Saudara ibumu yang perempuan (tante/bibi).
  • Anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki (keponakan perempuan).
  • Anak perempuan dari saudaramu yang perempuan (keponakan perempuan).
  • Ibu susuan.
  • Saudara perempuan sepersusuan.
  • Mertua perempuan (ibu mertua).
  • Anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri (anak tiri yang ibunya telah dinikahi oleh sang lelaki dan telah dia setubuhi dalam ikatan nikah tersebut).
Dari rincian dalam surat An-Nisa tersebut, bisa dipahami bahwa mahram bagi seorang wanita adalah:
  • Anak lelaki kandung.
  • Ayah kandung.
  • Saudara lelaki kandung.
  • Keponakan lelaki.
  • Om/paman.
  • Anak susuan.
  • Saudara lelaki sepersusuan.
  • Menantu lelaki.
  • Ayah tiri (Ibu si anak perempuan telah menikah lalu berhubungan badan dengan suami barunya tersebut. Dengan demikian, si ayah tiri telah menjadi mahram bagi si anak perempuan. Namun, bila si ibu dan suami barunya [si ayah tiri] tersebut belum berhubungan badan lalu akhirnya bercerai, maka si ayah tiri bukan mahram bagi si anak perempuan).
Untuk mengetahui di hadapan siapa saja seorang wanita muslimah boleh melepas jilbabnya, surat An-Nur: 31 dan surat An-Nisa: 23 saling melengkapi satu sama lain. Oleh sebab itu, bila kita gabungkan keduanya, maka bisa kita ketahui bahwa seorang wanita muslimah boleh melepas jilbabnya di hadapan:
  1. Suami.
  2. Ayah kandung.
  3. Ayah suami (mertua).
  4. Putra-putra (anak lelaki).
  5. Putra-putra suami (anak tiri).
  6. Saudara lelaki kandung.
  7. Putra-putra saudara lelaki (keponakan lelaki).
  8. Putra-putra saudara perempuan (keponakan lelaki).
  9. Anak lelaki kandung.
  10. Om/paman.
  11. Anak susuan.
  12. Saudara lelaki sepersusuan.
  13. Menantu lelaki.
  14. Ayah tiri (Ibu si anak perempuan telah menikah lalu berhubungan badan dengan suami barunya tersebut. Dengan demikian, si ayah tiri telah menjadi mahram bagi si anak perempuan. Namun, bila si ibu dan suami barunya [si ayah tiri] tersebut belum berhubungan badan lalu akhirnya bercerai, maka si ayah tiri bukan mahram bagi si anak perempuan).
Selain 14 orang mahram tersebut, ada lagi beberapa orang yang di hadapannya seorang wanita muslimah boleh membuka jilbab, yaitu:
  1. Wanita-wanita Islam.
  2. Budak-budak.
  3. Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita).
  4. Anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dengan demikian, totalnya menjadi 18 golongan orang.
Berjilbab tanpa mengenal tempat
Hanya di hadapan 18 golongan di atas saja seorang wanita muslimah boleh membuka jilbabnya. Adapun di hadapan selainnya, maka aurat wajib ditutup. Itu berlaku di mana pun, tanpa mengenal tempat; di dalam maupun di luar rumah.
Jika ada lelaki non mahram di dalam rumah, sang muslimah wajib menutup auratnya agar tak terlihat oleh si lelaki. Namun jika si lelaki sudah pergi, dia boleh kembali melepaskan jilbabnya.
Contohnya dalam keseharian:
- Hindun dan suaminya kedatangan tamu, sepasang suami-istri. Hindun mesti berjilbab dan menutup auratnya ketika berada di hadapan tamunya itu.
- Zainab, ayah, dan ibunya berkunjung ke rumah kakak perempuan Zainab yang telah menikah. Selama beberapa jam mereka berada di sana. Abang ipar Zainab bukanlah mahram bagi Zainab, sehingga Zainab tetap wajib menutup aurat ketika di hadapan abang iparnya, meskipun itu di dalam rumah kakaknya sendiri.
- Sarah sedang berada di kamar ketika adik lelakinya datang bersama teman lelakinya. Mereka berdua kemudian masuk rumah dan duduk mengobrol di ruang tamu. Kamar Sarah berada di samping ruang tamu, sehingga pintu kamarnya terhubung dengan ruang tamu. Karenanya, bila Sarah ingin keluar kamar saat itu, dia wajib berjilbab dan menutup aurat karena teman adiknya sedang berada di ruang tamu.
- Maryam selalu menyapu pekarangan rumahnya setiap pagi. Pekarangan rumah itu tepat berada di tepi jalan; kendaraan lalu-lalang di sana. Dengan demikian, Maryam wajib berjilbab dan menutup aurat ketika menyapu pekarangan rumahnya.
Jadi, seorang muslimah wajib mengenakan jilbab dan menutup auratnya bila ada lelaki yang bukan mahramnya atau orang yang tidak tergolong dalam 18 golongan yang telah kita sebutkan di atas. Itu wajib dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah.
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Catatan:
*) mengenai poin pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita (’ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَال ’) ada 3 kriterianya, yaitu:
  • lelaki baligh (Allah sebut rijal),
  • hidupnya bergantung ke orang lain (tidak bisa mandiri),
  • tidak memiliki syahwat terhadap wanita. Seperti orang ideot, orang impoten yang tidak punya gairah, atau orang gila. (Tafsir as-Sa’di, 566)

Penulis: Athirah Mustadjab (Ummu Asiyah)
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel WanitaSalihah.Com

Inilah Shalat Arbain Yang Dianjurkan Nabi

Shalat Arba’in cukup dikenal oleh masyarakat haji Indonesia, yaitu shalat berjamaah sebanyak 40 kali berturu-turu di masjid Nabawi Madinah dan tidak boleh tertinggal takbiratur ihram. Menurut versi haditsnya yang lemah, keutamaannnya sangat banyak. Haditsnya yaitu,
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
“Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan.”
Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Al-Albany dalamSilsilah Adh-Dhaifah, no. 364, dalam kitab lainnya sedangkan dalam kitab  Dhaif At-Targhib”, no. 755, beliau mengatakan, “Munkar”.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz (Mufti utama Arab Saudi di masa silam) rahimahullahmenjelaskan,
Adapun yang banyak beredar di tengah masyarakat bahwa orang yang berziarah (ke Madinah) dan menetap di sana selama 8 hari agar dapat melakukan shalat arbain (40 waktu). Meskipun ada sejumlah hadits yang diriwayatkan, bahwa siapa yang shalat empat puluh waktu, akan dicatat baginya kebebasan dari neraka dan kebebasan dari nifaq, hanya saja haditsnya dhaif menurut para ulama peneliti hadits. Tidak dapat dijadikan hujjah dan landasan. Berziarah ke Masjid Nabawi tidak ada batasannya, apakah berziarah sejam atau dua jam, sehari atau dua hari atau lebih dari itu, tidaklah mengapa.”1
Hadits arbain yang boleh dan ada dasarnya
Terdapat hadits lain mengenai shalat Arbain yang shahih, akan tetapi berbeda dengan sebelumnya. Hadits tersebut:
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.
Barang siapa yang shalat karena Allah empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan2
Perbedaan dengan sebelumnya adalah dilakukan selama 40 hari (bukan delapan hari) dan tidak mesti harus di Masjid Nabawi, bisa di masjid mana saja. Insya Allah orang yang rutin shalat berjamaah di masjid tepat waktu akan mudah mendapatkan keutamaan ini. Semoga kita dimudahkan oleh Allah melaksanakannya.
Beberapa catatan mengenai shalat arbain
Shalat Arbain juga memberikan beberapa konsekuensi karena harus berturut-turut dan tidak boleh tertinggal takbiratur ihram bersama imam.
  1. Terkadang kita ketiduran, kurang fit atau terlalu capek akhirnya kita agak terlambat, kemudian pasti akan terburu-buru bahkan berlari kencang untuk mengejar takbiratur ihram bersama imam. Padahal tubuh sedang tidak fit atau sedang sakit. Ini juga menyalahi sunnah agar datang ke masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa, adapun yang tertinggal bisa di sempurnakan setelahnya. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
    Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal.”3
  2. Ketika tertinggal takbiratul ihram shalat Arba’in atau ketiduran maka jamaah akan merasa sangat sedih sekali. Padahal mayoritas jamaah haji dan umrah umumnya pernah tertinggal takbiratur ihram, baik karena sakit, kecapekan, ketiduran atau mengurus keluarga yang sakit. Mereka sangat sedih tidak mendapatkan keutamaan shalat Arba’in. Akibatnya mereka murung, tidak semangat dan bisa jatuh sakit karena memang tujuan utama mereka di Madinah adalah shalat Arbain.
  3. Beberapa jamaah yang tidak diprogram tinggal di Madinah selama 8 hari, memaksakan diri dan terkadang bekal tidak cukup, rela ditinggal rombongan karena benar-benar ingin mengejar 40 shalat Arba’in.
  4. Terlalu fokus ibadah di Madinah dan memaksakan diri, padahal lebih diutamakan shalat dan ibadah di Masjdil Haram Makkah karena memang lebih banyak keutamaannya.
  5. Jamaah haji wanita juga terkadang kecewa, ketika sedang semangat Shalat Arbain atau sedang akan sempurna, tiba-tiba datang haid. Bisa jadi uring-uringan dan tidak semangat lagi. Bagi jamaah wanita lebih baik merenungi hadits bahwa shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi karena seorang sahabat wanita dinasehatkan oleh Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam agar shalat di rumahnya karena lebih baik dari shalat di masjid nabawi. Akan tetapi tidak masalah juga shalat di masjid nabawi dengan keutamaannya, lebih-lebih kesempatan ini sangat jarang bagi jamaah Indonesia.
Berikut haditsnya:
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي»
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi–shallallahu ‘alaihi wasallam- dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu  lebih baik bagimu dari shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu dari shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu dari shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjid Nabawi.4
Demikian semoga bermanfaat.

@Pogung Dalangan, Yogyakarta
***
Catatan kaki
Fatawa Ibnu Baz, 17/406
2 HR Ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh Al-Albani dalam Targhib wat Tarhib1/98 no. 409 dan Al-‘Iraqi mengatakan: para rawinya tsiqah Shahih
3 HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari
4 HR. Ahmad no. 27090, dihasankan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen

Tidak Perlu Memaksa Diri Merubah Sifat Dasar, Tapi Tempatkanlah pada Tempatnya

“Aduh aku kok orangnya pemalu ya, pengen merubah tapi sangat sulit”
“Aku memang aslinya keras, mau ubah lembut susah benget”

Setiap orang diciptakan dengan berbagai macam sifat dasar. Yang kami tekankan di sini, jadilah diri sendiri dan tidak perlu goyang atau goyah karena kritikan terhadap sifat dasar, akhirnya memaksakan diri berubah yang sangta susah
Ajaran Islam tidak memaksakan untuk merubah sifat dasar, tetapi dikendalikan dan ditempatkan ssesuai dengan tempatnya. Karenanya ada pepatah Arab
لكل مقام مقال
“likulli maqaamin maqaalun”(setiap keadaan perlu perkataan yang tepat)
Kelebihannya dimanfaatkan dan kekurangannya diminimalkan atau dihilangkan.

Para sahabatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  mempunyai berbagai sifat dasar. Para sahabat radhiallahu ‘anhum  ada yang lembut seperti Abu Bakar Abdullah bin Abi Quhafah. Sampai-sampai dikisahkah beliau tidak bisa mendengarkan Al-Quran kecuali beliau menangis. Sebagaimana ketika ‘Aisyahradhiallahu ‘anha meminta penjelasan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ,mengapa beliau meminta agar Abu Bakar menggantikan beliau menjadi imam shalat dan akan membacakan Al-Quran bagi manusia.
Diriwayatkan oleh Abi Musa radhiallahu ‘anhu,
مَرِضَ رَسُولُ اللَّهِ فَاشْتَدَّ مَرَضُهُ فَقَال مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَقَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ مَتَى يَقُمْ مَقَامَكَ لاَ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَقَالَ مُرِي أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ فَإِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ قَالَ فَصَلَّى بِهِمْ أَبُو بَكْرٍ حَيَاةَ رَسُولِ اللَّهِ
“Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sakit parah beliau berkata: “Suruhlah Abu Bakar untuk mengimami manusia”. Maka berkatalah Aisyah: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Bakar adalah seorang laki-laki yang amat perasa (mudah menangis). Bagaimana dia akan menggantikan kedudukanmu, dia tidak akan mampu untuk memimpin manusia”. Rasulullah berkata lagi: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami manusia! Sesungguhnya kalian itu seperti saudara-saudaranya nabi Yusuf”. Abu Musa berkata: maka Abu Bakar pun mengimami shalat dalam keadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam masih hidup.”[1]

Ada juga yang tegas seperti Umar bin Khattab. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  tidak berusaha mengubah sifat dasar para sahabatnya. Beliau tidak mengubah sifat tegas Umar bin Khattab, tetapi menempatkannya pada tempatnya, yaitu keras terhadap orang yang macam-macam dan memusuhi agama Islam, sampai-sampai ia terkenal  dengan perkataannya,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، دَعْنِي أَضْرِبْ عُنُقهَ
 “wahai Rasulullah, izinkan saya menebas lehernya”

Perkataan yang membuat bergetar ketakutan musuh-musuh Islam. Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam  tidak berusaha mengubah sifat dasar lembut Abu bakar dan sifat Malu Ustman.
Adapun tegas dan keras yang tidak pada tempatnya maka hal ini tercela, kaku dan membuat manusia lari dari dakwah dan agama. Seperti sedikit-sedikit sembarangan mencap kafir dan ahli bid’ah kepada saudaranya. Kalau ada saudaranya salah langsung ditegur dengan cara yang keras tanpa harus tahu apakah saudaranya punya udzur atau tidak.
Allah Ta’ala berfirman,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” ( Ali Imran: 159)

Ada juga Sahabat yang pemalu seperti Ustman bin Affan sebagaimana RasulullahShallallahu ‘alaihi wasallam  menyanjung beliau,
أَلَا أَسْتَحِي مِنْ رَجُلٍ تَسْتَحِي مِنْهُ الْمَلَائِكَةُ؟
“Tidakkah sepatutnya aku malu kepada seorang (yakni Utsman) yang para malaikat malu kepadanya?”[2]
Tentu saja ini adalah malu yang terpuji yaitu malu pada tempatnya dan malu ketika berbuat yang tidak senonoh, malu ketika merepotkan orang lain dan malu ketika berbuat kemaksiatan di depan manusia atau di hadapan Rabbnya. Inilah malu yang dipuji dalam hadits.
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[3]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.”[4]
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”[5]

Demikian semoga bermanfaat

@Laboratorium Klnik RSUP DR. Sardjito,  Yogyakarta Tercinta
silahkan like fanspage FB dan follow twitter
Add Pin BB www.muslimafiyah.com kedua 7C9E0EC3, Grup telegram Putra (+6289685112245), putri (+6281938562452)

[1] HR. Bukhari Muslim
[2] HR. Muslim no. 2401.
[3] HR.Ibnu Majah no. 4181 Lihat Silsilah al-Ahadîts ash-Shahahah no. 940
[4] Muttafaq ‘alaihi
[5] HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37/60

Syafa’at Tetangga Terdekat Ketika Menjemput Kematian

عن أنس أن النبي صلي الله عليه وسلم قال ما من مسلم يموت فيشهد له أربعة أهل أبيات من جيرانه ألا دنين إلا قال قد قبلت فيه علمكم فيه و غفرت له ما لاتعلمون
Dari Anas, sesungguhnya Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Tidak ada seorang muslim yang meninggal kemudian ada empat tetangga dekat rumahnya bersaksi (dengan kebaikan) melainkan Allah akan berfirman: ”Sungguh Aku telah menerima pengetahuan kalian tentangnya dan Aku mengampuni dosa-dosanya yang tidak kalian ketahui.” [HR.Ahmad no.13541 dan Ibnu Hibban no.3026]
Sumber: Kumpulan Shahih Hadits Qudsi, Zulkifli,Lc, Aslam Media, Jakarta