Kamis, 27 Agustus 2015

Jilbabku Syar’i Ataukah Modis?

Jilbabku Syar’i Ataukah Modis?

Apakah motif kita dalam menggunakan hijab? Ingin syar’i tapi tetap modern? Ingin syar’i tapi tetap cantik? Atau bahkan, dengan menggunakan hijab jadi tambah cantik?


hijab-tutorial-syari-islami
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah tuhan semesta alam yang mengatur segalanya, hingga sampai saat ini kita bisa membaca tulisan ini menggunakan penglihatan kita yang sempurna, di bumi Allah ini. Tempat mana lagi yang bisa kita tinggali selain di bumi Allah ini, maka tidaklah pantas sedikit pun bagi kita sebagai seorang hamba Allah, tidak mematuhi perintah Allah terlebih melanggar larangan Allah.
Tidaklah lupa shalawat serta salam kita curahkan kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam, karena dengannya segala jalan kebaikan telah dibukakan, dan segala jalan keburukan telah ditutup, tinggal kitalah yang memilih jalan mana yang kita tempuh.
Saudariku, tidakkah kau perhatikan pada akhir zaman ini sudah banyak yang menggunakan hijab? Dari kalangan anak kecil sampai orang tua semua tahu tentang hijab, namun apakah motif kita dalam menggunakan hijab tersebut? Ingin syar’i tapi tetap modern? Ingin syar’i tapi tetap cantik? Atau bahkan, dengan menggunakan hijab jadi tambah cantik?
Namun itu semua hanyalah syubhat saja Saudariku, tulisan ini akan menepis segala syubhat mengenai mode dalam berhijab, berikut pemaparannya:
Sebagian muslimah yang tidak berhijab mengulang-ulang syubhat yang intinya, tidak ada yang disebut hijab secara hakiki, ia sekedar mode. Maka, jika itu hanya mode, kenapa harus dipaksakan untuk mengenakannya?
Mereka lalu menyebutkan beberapa kenyataan serta penyimpangan yang dilakukan oleh sebagian ukhti berhijab yang pernah mereka saksikan. Sebelum membantah syubhat ini, kami perlu mengetengahkan enam macam alasan yang karenanya seorang ukhti mengenakan hijab.
Pertama, ia berhijab untuk menutupi sebagian cacat tubuh yang dideritanya.
Kedua, ia berhijab untuk bisa mendapat jodoh. Sebab sebagian besar pemuda, yang taat menjalankan syariat agama atau tidak, selalu mengutamakan wanita yang berhijab.
Ketiga, ia berhijab untuk mengelabui orang lain bahwa dirinya orang baik-baik. Padahal, ia sebenarnya suka melanggar syariat Allah. Dengan berhijab, maka keluarganya akan percaya terhadap keshalihannya, orang tidak ragu-ragu tentangnya. Akhirnya, dia bisa bebas keluar rumah kapan dan kemana dia suka, dan tidak akan ada seorang pun yang menghalanginya.
Keempat, ia memakai hijab untuk mengikuti mode, hal ini lazim disebut dengan “hijab ala Prancis”. Mode itu biasanya menampakkan sebagian jalinan rambutnya, memperlihatkan bagian atas dadanya, memakai rok hingga pertengahan betis, memperlihatkan lekuk tubuhnya. Terkadang memakai kain tipis sekali sehingga tampak jelas warna kulitnya, kadang-kadang juga memakai celana panjang. Untuk melengkapi mode tersebut, ia memoles wajahnya dengan berbagai macam make up, juga menyemprotkan parfum, sehingga menebar bau harum pada setiap orang yang dilewatinya. Dia menolak syariat Allah, yakni perintah mengenakan hijab. Selanjutnya lebih mengutamakan mode-mode buatan manusia. Seperti Christian Dior, Valentino, Saint Lauren dan merek nama orang-orang kafir yang dimurkai Allah lainnya.
Kelima, ia berhijab karena paksaan dari kedua orang tuanya yang mendidiknya secara keras di bidang agama, atau karena keluarganya semua berhijab sehingga ia terpaksa menggunakannya padahal dalam hatinya ia tidak suka. Jika tidak mengenakannya, ia takut akan mendapatkan teguran dan hardikan dari keluarganya.
Keenam, ia mengenakan hijab karena mengikuti aturan-aturan syariat. Ia percaya bahwa hijab adalah wajib, sehingga ia takut melepaskannya. Ia berhijab hanya karena mengaharap ridha Allah, tidak karena makhluk.
Wanita berhijab jenis keenam, akan selalu memperhatikan ketentuan-ketentuan berhijab, di antaranya:
  1. Hijab itu longgar, sehingga tidak menampakkan lekuk-lekuk tubuh (tubuh bukan hanya kepala).
  2. Tebal, hingga tidak kelihatan sedikit pun bagian tubuhnya.
  3. Tidak memakai wangi-wangian.
  4. Tidak meniru mode pakaian wanita-wanita kafir sehingga muslimah memiliki identitas pakaian yang dikenal.
  5. Tidak memilih warna kain yang kontras (menyala) sehingga menjadi pusat perhatian orang.
  6. Hendaknya menutupi seluruh tubuh, selain wajah dan kedua telapak tangan, menurut suatu pendapat, atau menutupi seluruh tubuh dan yang tampak hanya mata, menurut pendapat yang lain.
  7. Hendaknya tidak menyerupai pakaian laki-laki sehingga bab hal ini dilarang oleh syara’.
  8. Tidak memakai pakaian yang sedang menjadi mode dengan tujuan pamer sehingga ia terjerumus kepada sifat membanggakan diri yang dilarang oleh agama.
(Kitab Hijab al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitab wa as-Sunnah, karya al-Albani dan kitab Ila Kulli Fatatin Tu’minu Billah, karya al-Buthi).
Selain berhijab yang disebutkan terakhir, maka alasan-alasan mengenakan hijab adalah keliru dan bukan karena mengharap ridha Allah. Ini bukan berarti, tidak ada orang yang menginginkan ridha Allah dalam berhijab. Berhijablah sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syariat sehingga Anda termasuk dalam golongan wanita yang berhijab karena mencari ridha Allah dan takut akan murka-Nya.
Saudariku, pakaian bermode itu boleh kau pakai asal di depan mahrammu, karena dirimu terlalu berharga untuk dinikmati oleh sembarangan mata. Tidakkah kita berpikir bahwa sesuatu yang amat berharga itu pantas dipertontonkan di muka umum? Tentulah tidak wahai Saudariku.
————————-
Artikel muslimah.or.id
Tulis ulang dari kitab “Ila Ukhti Ghairil Muhajjabah Mal Mani’ Minal Hijab?” “saudariku, Apa yang Menghalangimu Berhijab?” karya Abdul Hamid al-Bilali, penerjemah Ainul Haris bin Umar Aridin, Lc.
http://muslimah.or.id/7631-jilbabku-syari-ataukah-modis.html

Minggu, 02 Agustus 2015

Sebuah Sikap Bijak dalam Kehidupan

Kondisi seseorang berubah-ubah, adakalanya dia memperoleh kenikmatan duniawi yang melimpah, namun terkadang diterpa kemiskinan dan kepapaan, didera sakit, didekati usia senja dan dibuat tak berdaya di masa tuanya. …

 
  62  0
flower spring wallpaper
Kondisi seseorang berubah-ubah, adakalanya dia memperoleh kenikmatan duniawi yang melimpah, namun terkadang diterpa kemiskinan dan kepapaan, didera sakit, didekati usia senja dan dibuat tak berdaya di masa tuanya.
Kondisi sakit dapat mengubah perangai seseorang dari sikap bijak menjadi tak sanggup menahan kesusahan. Demikian juga dengan usia senja, dapat melemahkan mentalnya sebagaimana fisiknya yang semakin melemah. Begitu pula dengan kenikmatan berupa kekuasaan, yang mengubahnya menjadi lebih sering mengabaikan sahabat-sahabatnya. Sama juga dengan popularitas, terkadang menjadikan manusia bersikap angkuh.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika seorang telah memiliki mentalitas dan kemuliaan yang tinggi, berusaha memantapkan hatinya untuk bersikap sederhana dalam keadaan senang maupun susah. Imam Ibnu Qutaibah rahimahullahmengatakan: “Disebutkan dalam kitab Kaliilah wa Dimnah: ‘Orang yang bijak tidak menjadi sombong karena kedudukan dan kebesaran, bagaikan gunung yang diterpa angin kencang yang dahsyat. Sedangkan orang yang dungu menjadi sombong karena kedudukan yang paling rendah sekalipun, bagaikan rumput yang bergoyang meski hanya dihempus angin sepoi-sepoi’.
Seorang teladan dari kalangan bangsawan yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Diceritakan bahwa ketika menjabat sebagai khalifah, suatu hari beliau pergi menuju masjid pada waktu sahur dengan ditemani pengawal. Beliau melintasi seorang laki-laki yang sedang tidur di jalanan. Tanpa sengaja kaki beliau menyandung tubuh laki-laki tersebut sehingga secara spontan dia berseru “Kamu ini gila ya?”. Lantas beliau menjawab “Tidak”. Melihat kejadian itu, pengawal beliau ingin sekali menghajar laki-laki itu, namun khalifah segera berseru “Bersabarlah! Orang itu hanya bertanya kepadaku ‘kamu ini gila ya?’ dan sudah aku jawab ‘tidak’”.
Beliau seorang bangsawan, seorang pemimpin yang layak mendapatkan penghormatan, sanjungan, dan kemuliaan. Sedangkan perkataan yang seperti itu adalah bentuk perendahan yang sungguh tidak layak. Namun dengan kedudukannya, beliau lantas tak menjadi angkuh. Perkataan yang demikian itu beliau jawab dengan respon tanpa berlebihan.
Teladan lain, apabila kita menginginkan contoh yang paling mengesankan tentang sikap kesederhanaan pada saat senang maupun susah, maka telusurilah perjalanan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tak pernah berpaling dari sikap zuhud terhadap dunia, walaupun seujung jari.
Begitu juga dengan kecekatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di jalan dakwah. Beliau terus menerus menyeru manusia ke jalan petunjuk dan agama yang benar sehingga mengalami berbagai gangguan dari kelompok yang berbuat aniaya, namun beliau tidak membalas dan malah memaafkannya.
Maka benarlah perkataan Ibnul Jauzi rahimahullah yang menyatakan, “Siapa saja yang memperhatikan lautan dunia dan mengetahui kiat menghadapi gelombangnya serta menyadari cara bersabar dalam mempertahankan hidup, niscaya dia tidak akan berkeluh kesah tatkala musibah menerpanya dan tidak pula terlalu gembira ketika nikmat menyapanya”.
Dari dua teladan tersebut, marilah kita memandang diri kita. Apa jabatan kita jika dibandingkan dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dan apa kedudukan kita dibanding Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Pantaskah kita ketika dicela membalas dengan perkataan hina? Dan pantaskah kita ketika diperlakukan dengan kasar membalasnya dengan amarah? Tidak. Tidaklah pantas wahai saudariku.
Sikapilah segalanya dengan bijak. Sebagaimana sebuah hadits yang agung telah menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
Artinya, “Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Segala keadaan yang dialaminya sangat menakjubkan. Setiap takdir yang ditetapkan Allah bagi dirinya merupakan kebaikan. Apabila mengalami kebaikan dia bersyukur, dan hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa keburukan maka dia bersabar, dan hal itu merupakan kebaikan bagi dirinya.” (HR.Muslim).
——
Dikutip dari Buku Mental Juara, 50 Faktor Pendukung Mentalitas Muslim Juara. (terjemah kitab Al Himmah Al ‘Aliyah) Karya Dr. Muhammad bin Ibrahim al Hamad. Penerbit Pustaka Imam Asy Syafii, Jakarta
Artikel www.muslimah.or.id
Sumber: http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/sebuah-sikap-bijak-dalam-kehidupan.html

Kesalahan-Kesalahan Seputar Mandi Janabat

1. Suami istri tidak mandi kecuali setelah mengeluarkan air mani (orgasme) Kesalahan semacam ini telah menyebar di kalangan kaum muslimin. Sebagian mereka apabila menggauli istrinya tidak mandi dan …

mandi

1. Suami istri tidak mandi kecuali setelah mengeluarkan air mani (orgasme)

Kesalahan semacam ini telah menyebar di kalangan kaum muslimin. Sebagian mereka apabila menggauli istrinya tidak mandi dan tidak menyuruh istrinya mandi kecuali jika keduanya mencapai orgasme.
Hal semacam ini memang pernah terjadi pada permulaan datangnya Islam sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
Sesungguhnya air itu dari air“.
Akan tetapi, hadits itu di-mansukh (dihapus) dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Apabila dua khitan (kemaluan laki-laki dan perempuan) telah bertemu dan kepala zakar telah masuk, maka hal itu sudah wajib mandi, baik keluar mani (orgasme) maupun tidak”.
Oleh karena itu, barangsiapa yang mendatangi istrinya dan belum orgasme, lalu ia tidak mandi junub dan langsung mengerjakan shalat, maka shaltnya batal. Sebab, dia masih dalam keadaan junub.

2. Tidak menutupi aurat dari pandangan manusia ketika mandi

Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman. Akan tetapi, pada kenyataanya masih kita dapati sebagian kaum muslimin yang melepas pakaian malunya. Mereka berdiri di tempat-tempat umum, seperti tepi sungai atau laut untuk mandi jumat atau mandi janabat di depan orang-orang tanpa merasa malu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa di antara sebab-sebab adzab kubur adalah tidak menutup (aurat) ketika kencing. Lantas, bagaimana jika tidak meutupnya ketika mandi?!!

3. Berkeyakinan bahwa dua mandi tidak boleh disatukan

Banyak kaum muslimin tidak mengetahui bahwa jika waktu hari raya itu datangnya bersamaan dengan hari jumat, maka dia cukup mandi satu kali seraya menggabungkan dua niat. Demikian pula dengan mandi junub dan mandi jumat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Setiap orang akan mendapat sesuai yang dia niatkan“.

4. Meyakini bahwa mandi tidak dapat menggantikan wudhu

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah mandi.”
Abu Bakr bin Al-Arabi mengatakan, “Para ulama tidak berbeda pendapat bahwa wudhu sudah masuk dalam mandi dan niat bersuci dari janabat sudah mencakup niat untuk bersuci dari hadats serta menghilangkannya. Hal ini desebabkan penghalang-penghalang janabat lebih banyak daripada penghalang-penghalang hadats sehingga niat yang lebih sedikit masuk ke dalam niat yang lebih besar dan yang demikian itu sudah mencukupinya”.

5. Tidak meratakan air ke seluruh tubuh

Hal ini khususnya terjadi pada orang gemuk. Terkadang, ada bagian-bagian dari tubuhnya, khususnya dada dan lemak pada peru, yang saat air melewatinya, air tidak bisa mengalir ke anggota badan yang berada di bawahnya. Dalam keadaan seperti ini, maka mandinya tidak sempurna.

6. Menunda mandi junub dan mandi setelah haid hingga matahari terbit

Sebagian wanita apabila dalam keadaan junub (setelah bersetubuh dengan suaminya) atau ketika suci dari haid pada malam hari, dia menunda mandi hingga matahari terbit. Setelah itu, dia baru mandi dan melaksanakan shalat Shubuh. Hal ini hukumnya haram menurut ijma’. Sebab, dia wajib segera mandi dan mengerjakan shalat pada waktunya. Allah berfirman:
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ ۚ فَإِذَا اطْمَأْنَنتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ ۚ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah pada saat berdiri, duduk, dan berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiabn yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman“. (An-Nisa’ [4]: 103).
Sebab, menunda waktu shalat dengan sengaja hingga habis waktunya termasuk dosa besar. Jika suaminya mengetahui hal itu, maka dia juga terjerumus ke dalam dosa bersama istrinya (keadaan ini jika istrinya sudah mengerti hukumnya). Namun, jika istrinya tersebut belum mengerti hukumnya, maka dirinya tergolong orang yang udzur lantaran kebodohannya hingga dia mengerti.

7. Menutup kepala ketika mandi

Sebagian orang jika hendak mandi meletakkan sesuatu di atas kepalanya lantaran khawatir bila rambutnya basah. Padahal, hal itu dapat mencegah masuknya air. Ini merupakan kesalahan besar. Sebab, dengan demikian bersucinya menjadi kurang sempurna lantaran dia menutup sesuatu yang semestinya wajib untuk dibasuh.
***
Disalin ulang dari buku “400 Kesalahan Dalam Shalat” karya Mahmud Al-Mishri Abu Ammar, yang diterjemahkan oleh Fahrur Mu’is dan Nurul Lathifah, penerbit: Media Zikir
Artikel Muslimah.or.id
Sumber: http://muslimah.or.id/fikih/kesalahan-kesalahan-seputar-mandi-janabat.html

Konsisten Secara Total dengan Syariat


Oleh
Ustadz Abu Minhal Lc


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٢٠٨﴾فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allâh) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran, maka ketahuilah, bahwasanya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. [al-Baqarah/2:208-209]. 

MUFRADAT
السِّلْمُ (as-silmu), maksudnya adalah Islam.[1] Pendapat lainnya, ketaatan (kepada Allâh).[2] 

كَافَّةً (kâffatan), maksudnya jamî’an (secara keseluruhan, totalitas).[3] 

PENAFSIRAN AYAT
Ini adalah satu khithâb (panggilan ilahi) yang tertuju kepada kaum Mukminin[4] yang harus didengar dan diperhatikan, untuk melaksanakan kandungan perintahnya dan menjauhi kandungan larangannya. 

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu, Mujahid rahimahullah, Abul ‘Aliyah rahimahullah, Qatâdah rahimahullah, Adh-Dhahhâk rahimahullah dan ulama lainnya memaknai dengan, 'kerjakanlah semua amal shalih dan seluruh jenis kebajikan'.[5] 

Sedangkan Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, maksudnya adalah Allâh Ta’ala memerintahkan para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan para Rasul-Nya, supaya mereka kuat berpegang dengan seluruh tali ajaran Islam dan syariat-syariatnya, mengaplikasikan seluruh perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, sesuai jangkauan kemampuan mereka.[6] 

Kaum Mukminin diperintahkan untuk mengerjakan seluruh cabang keimanan dan syariat-syariat Islam, yang banyak jumlahnya sesuai dengan kemampuan,[7] tetapi bukan dengan memilih-milih aturan syariat dan hukum-hukum. Misal, yang sesuai dengan kemaslahatan (kepentingan) dan hawa nafsunya akan diterima dan diamalkan. Sedangkan ajaran yang tidak selaras dengan kemaslahan dan hawa nafsu pribadi, ditolak atau ditinggalkan dan abaikan. Kewajiban kita ialah menerima semua aturan syariat Islam dan hukum-hukumnya secara keseluruhan.[8] 

Mengagungkan syariat dan mengamalkannya termasuk wujud pengagungan seorang hamba kepada Allâh Azza wa Jalla dan bukti keimanannya kepada Allâh Azza wa Jalla . Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

Demikianlah (perintah Allâh). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allâh, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati”. [al-Hajj/22:32]. 

Seperti halnya para sahabat Nabi, mereka insan-insan yang sangat kuat dalam berpegang dengan ajaran Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dan tunduk kepada al-haq. Mereka memiliki kesempurnaan iman dibandingkan generasi selanjutnya. 

Simaklah ‘Umar bin Khaththab memuji Abu Bakr ash-Shiddiq: “Dia seorang yang jujur, gemar berbuat baik, memiliki akal yang lurus dan mengikuti al-haq”. [9] 

Simak juga pujian Ibnu ‘Abbas terhadap ‘Umar bin Khaththab Rdhiyallahu anhu : “Dia seorang yang sangat memperhatikan garis-garis aturan Kitabullâh”.[10] 

HARUS MENGHINDARI TIPU-DAYA SETAN
Masuk ke dalam Islam secara total tidak mungkin dilakukan seorang hamba kecuali hanya dengan menghindari dan menjauhi jalan dan bisikan, serta tipu daya setan.[11] Karenanya, pada lanjutan ayat, Allâh Azza wa Jalla berfirman: وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ (dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan). 

Maksudnya, kata Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “Kerjakanlah seluruh amal ketaatan dan hindarilah oleh kalian semua yang dibisikkan setan kepada kalian. Karena, “Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allâh apa yang tidak kamu ketahui" (al-Baqarah/2:169), dan “karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala” (Fâthir/35:6). 

Allâh Azza wa Jalla mengingatkan pada penutup ayat dengan berfirman إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu). 

Mutharrif berkata, “Makhluk Allâh yang paling ampuh tipu muslihatnya terhadap hamba Allâh adalah setan”.[12] 

TIDAK ADA ISTILAH "KULIT" UNTUK AJARAN ALLÂH DAN RASUL-NYA 
Konsistensi dengan ajaran syariat dan mentaati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangkan hidayah dan menjauhkan dari kesesatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Katakanlah: "Taat kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang." [an-Nûr/24:54]. 

Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ يَهْدِيهِمْ رَبُّهُمْ بِإِيمَانِهِمْ ۖ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهِمُ الْأَنْهَارُ فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ 

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi petunjuk oleh Rabb mereka karena keimanannya, di bawah mereka mengalir sungai-sungai di dalam surga yang penuh kenikmatan. [Yunus/10:9]. 

Allâh juga berfirman:

وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى ۗ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ مَرَدًّا 

Dan Allâh akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal shalih yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu dan lebih baik kesudahannya. [Maryam/19:76]. 

Imam al-‘Izz bin ‘Abdus-Salam berkata, “Tidak boleh mengatakan bahwa syariat itu qisyrûn (kulit), padahal memuat banyak sekali manfaat dan kebaikan. Bagaimana bisa perintah untuk taat dan beriman disebut ‘kulit’?! Siapapun yang melontarkan sebutan seperti ini tiada lain ia seorang yang dungu, celaka lagi kurang beradab. Seandainya pernyataannya itu dikomentari sebagai qusyûr (tidak penting) pastilah serta-merta ia akan mengingkari orang yang menanggapinya. Bagaimana ia bisa melontarkan penyebutan ‘kulit’ (tidak penting) kepada syariat, padahal syariat itu adalah Kitabullâh dan Sunnah Rasul-Nya. Maka, orang bodoh ini pantas mendapatkan sanksi yang sesuai dengan kesalahannya ini.”[13] 

ANCAMAN BAGI SESEORANG YANG MENYIMPANG DARI JALAN ALLAH AZZA WA JALLA
Seseorang yang tidak taat kepada Allâh Azza wa Jalla , hakikatnya ia justru terjerumus ke dalam perbuatan yang buruk, yaitu mempertuhankan dan mendewakan hawa nafsunya, sehingga menyeretnya kepada kehinaan, kenistaan dan kesengsaraan hakiki. Realitas ini harus disadari oleh setiap Mukmin yang berharap keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 

Seseorang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla tidak sepantasnya menjadikan hawa nafsunya sebagai "tuhan" yang ditaati. Maksudnya, jika satu perintah sesuai dengan keinginannya, maka ia akan menjalankannya. Bila satu aturan tidak sejalan dengan hawa nafsunya, ia pun menolak menaatinya. Mestinya, hawa nafsunya harus tunduk patuh kepada aturan agama (Islam), dan mengerjakan amalan kebajikan yang berada dalam jangkauan kemampuannya. Adapun perintah-perintah yang belum sanggup untuk menjalankannya, maka hendaklah ia mematuhi dan menanamkan niat untuk menjalankannya, sehingga ia mendapatkan pahala dengan niatnya itu.[14]

Selanjutnya, pada ayat berikutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Tetapi jika kamu menyimpang (dari jalan Allah) sesudah datang kepadamu bukti-bukti kebenaran. 

Ayat ini memuat peringatan dan ancaman terhadap seseorang yang menyimpang dan menolak syariat Allâh Azza wa Jalla . Syaikh as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Bila kalian meninggalkan kebenaran setelah hujjah-hujjah tegak dan jelas di hadapan kalian, maka ketahuilah, bahwasanya Allâh Maha Perkasa untuk membalas (sikap kalian). Tidak ada seorang(pun) yang sanggup melarikan diri dari-Nya, dan tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan-Nya. Dia (Allâh) Maha Bijaksana dalam ketentuan hukum-hukum-Nya, pembatalan dan penetapan hukum-Nya. Oleh sebab itu para ulama mengatakan, Allâh Maha Perkasa dalam menjatuhkan siksa-Nya, Maha Bijaksana dalam ketentuan-ketentuan-Nya." 

Seorang hamba yang telah mengetahui al-haq, namun kemudian membencinya, maka orang yang seperti ini pantas mendapatkan perlakuan dari Allâh Azza wa Jalla untuk semakin dijauhkan dari kebenaran dan kemudian ditambah kesesatannya. Allâh Azza wa Jalla berfirman: 

فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ

Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allâh memalingkan hati mereka. [ash-Shaff/61:5].

Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di rahimahullah berkata, “Orang yang membenci al-haqq dan justru berjalan mengikuti hawa nafsunya, pantaslah Allâh Azza wa Jalla menambahkan kesesatan untuknya”.[15] 

Cermati pula perkataan Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu berikut ini, “Aku khawatir akan menjadi orang yang sesat (menyimpang) bila aku tinggalkan sesuatu dari petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “. 

Syaikh Hamd bin Ibrâhîm al-‘Utsmân hafizhahullâh mengatakan, dengan demikian (melalui ayat ini), dapat diketahui kesalahan orang-orang yang berada di atas manhaj-manhaj yang tidak berdiri di atas al-haq. Mereka memperlakukan syariat sesuai dengan kehendak sendiri, menjalankan sebagian petunjuk syariat dan berpaling dari petunjuk syariat lainnya yang dianggapnya qusyûr (kulit), atau masalah cabang yang tidak ada urgensi dan kepentingannya. Demikian dalih mereka".

Dengan anggapan yang keliru tersebut, maka tidak diragukan jika mereka telah menodai hikmah Allâh Azza wa Jalla . Syariat Allâh Azza wa Jalla ini tidak diturunkan kecuali ada tujuan dan hikmahnya. Sehingga seandainya ada bagian syariat yang tidak penting, tentu Allâh Azza wa Jalla tidak menurunkan dan mensyariatkannya pada hamba-hamba-Nya, serta memerintahkan mereka untuk bertaqarrub dengan-Nya. 

Allâh Ta’ala mengingatkan: 

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ 

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? [al-Baqarah/2:85].[16] 

PELAJARAN DARI AYAT 
1.Kewajiban menerima semua aturan syariat Allâh dan Rasul-Nya, tidak boleh memilih sesuai dengan yang disukainya saja.

2. Semua petunjuk syariat baik dan mendatangkan kemaslahatan.

3.Kewajiban bagi kaum Mukminin agar meningkatkan semangat belajar dan mendalami syariat Islam, agar mengetahui semua ajaran Allâh Azza wa Jalla sehingga mengenal Islam dengan lebih baik dan dapat melaksanakannya. 

4.Harus merasa takut terhadap ancaman dan makar dari Allâh Azza wa Jalla.

5. Konsisten dengan ajaran syariat akan mendatangkan hidayah demi hidayah.

6. Pelanggaran terhadap syariat dapat menjauhkan seseorang dari hidayah Allâh Azza wa Jalla . 

Wallahu a’lam. 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahhaak dan lainnya. Lihat Zâdul-Masîr, 1/174; Tafsir al-Qur`ânil-‘Azhim, 1/569. 
[2]. Dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abul ‘Aliyah dan Rabi’ bin Anas. 
[3]. Zâdul-Masîr, 1/174. 
[4]. Taisiru al-Karîmi ar-Rahmân, hlm. 84. 
[5]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/569.
[6]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/569.
[7]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/570.
[8]. Aisaru at-Tafâsîr 1/.90.
[9]. HR al-Bukhâri no.3094.
[10]. HR al-Bukhâri kitab tafsir no.4642
[11]. Taisir al-Karîmir ar-Rahmân, hlm. 84.
[12]. Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 1/570.
[13]. Al-Fatawa al-Maushiliyyah, hlm.68-69. Nukilan dari ash-Shawaarifu ‘anil-Haqq, hlm.72-73.
[14]. Taisiru al-Karimi ar-Rahmân, hlm. 84 
[15]. At-Tankîl, hlm. 2/201. Nukilan dari ash-Shawârifu ‘anil Haqqi, hlm.74. 
[16]. Lihat ash-Shawârifu ‘anil-Haqq, hlm.72.
Sumber: http://almanhaj.or.id/content/4088/slash/0/konsisten-secara-total-dengan-syariat/

Kiat-Kiat Menghapal Al-Qur-an Dan As-Sunnah



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Seorang penuntut ilmu hendaknya mengetahui bahwa menuntut ilmu memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui. Ia harus memulai dari yang paling penting kemudian yang penting. Ia tidak boleh tergesa-gesa, bahkan ia harus bersabar dan mengetahui kadar kemampuan dirinya.

Para ulama kita tidak pernah melewati dan menyimpang dari tahapan menuntut ilmu karena bertahap dalam menuntut ilmu adalah jalan selamat untuk memperoleh ilmu. Bertahap dalam menuntut ilmu ini berdasarkan firman Allah Tabaaraka wa Ta’aala,

وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا

“Dan Al-Qur-an (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” [Al-Israa': 106]

Dan firman Allah Ta’ala,

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً ۚ كَذَٰلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ ۖ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا

“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Mengapa Al-Qur-an itu tidak diturunkan kepadanya sekaligus?’ Demikianlah agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengan-nya dan Kami membacakannya secara tartil (berangsur-angsur, perlahan dan benar).” [Al-Furqan: 32]

Banyak manusia yang tercegah dari tujuannya dalam menuntut ilmu karena meninggalkan ushul (landasan pokok). Yang dimaksud ushul adalah Al-Qur-an dan As-Sunnah.

Seorang penuntut ilmu hendaklah memprioritaskan dirinya untuk menghafalkan Al-Qur-an kemudian hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah yang dinasihatkan oleh para ulama Salaf kepada orang yang hendak menimba ilmu dari mereka.

Imam Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullah bin Muhammad Ibnu ‘Abdil Barr (wafat th. 463 H) rahimahullaah mengatakan, “Menuntut ilmu memiliki tingkatan dan tahapan yang tidak boleh dilanggar. Siapa yang melanggarnya secara keseluruhan, maka ia telah melanggar jalan para ulama Salaf, siapa yang melanggar jalan mereka dengan sengaja, maka ia telah tersesat, dan siapa yang melanggarnya lantaran ijtihadnya, maka ia telah menyimpang.

Awal dari ilmu adalah menghafalkan Kitabullah dan memahaminya. Segala apa yang dapat membantu untuk memahaminya, maka wajib untuk mempelajarinya. Aku tidak mengatakan bahwa menghafal seluruh Al-Qur-an adalah fardhu, tetapi aku katakan bahwa hal itu adalah wajib (sunnah yang mendekati wajib) dan keharusan bagi siapa saja yang ingin menjadi seorang yang alim, bukan fardhu.

Al-Qur-an adalah pokok dari ilmu. Siapa yang menghafalkannya sebelum usia baligh, kemudian meluangkan waktunya untuk mempelajari apa yang dapat membantunya dalam memahaminya berupa bahasa Arab, maka hal itu adalah penolong terbesar untuk mencapai tujuan dalam memahami Al-Qur-an dan Sunnah-Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam...

Kemudian melihat kepada Sunnah-Sunnah yang masyhur, yang telah tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga dengannya seorang penuntut ilmu sampai kepada maksud Allah Ta’ala dalam Kitab-Nya. Dan Sunnah itu membukakan hukum-hukum Al-Qur-an baginya...

Barangsiapa mencari Sunnah-Sunnah Nabi, hendaklah ia prioritaskan pada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para imam, yang tsiqah dan banyak hafalannya (huffazh)[1].” Maka, wahai saudaraku, engkau harus menghafal ushul dan mencari bantuan dengannya.

Imam Ibnu Jama’ah (wafat th. 733 H) rahimahullaah mengatakan, “Hendaklah (penuntut ilmu) memulai dengan Kitabullaahil ‘Aziiz, menghafalkannya dengan mutqin (betul-betul matang), bersungguh-sungguh memahami tafsirnya, dan semua ilmunya (ilmu Al-Qur-an). Karena, Al-Qur-an adalah pokok ilmu, induk-nya, dan yang paling penting.”[2]

Jadi, target utama penuntut ilmu adalah menghafal Kitabullah dan Sunnah Nabi yang shahih. Setelah itu hendaklah ia menghafalkan kitab-kitab matan, baik dalam bidang aqidah, fiqih, hadits, nahwu, maupun fara-idh. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullaah mengatakan, “Yang paling penting bagi seseorang dalam menuntut ilmu adalah mempelajari tafsir Kalamullaah karena Kalamullaah seluruhnya adalah ilmu. Allah Ta’ala berfirman,

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ

“... Dan Kami turunkan Al-Kitab (Al-Qur-an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” [An-Nahl: 89]

Dahulu para Shahabat tidak pernah melewati sepuluh ayat sampai mereka mempelajari apa yang ada di dalamnya berupa ilmu dan amal sehingga mereka mempelajari Al-Qur-an, ilmu, dan amal sekaligus. Menurut saya inilah yang paling penting. Maka hendak-lah para remaja -terutama anak-anak- memulainya dengan menghafalkan Al-Qur-an... Bersamaan dengan itu hendaklah penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya terhadap Sunnah karena merupakan landasan syari’at yang tidak dapat dipisahkan selamanya, Al-Qur-an dan As-Sunnah keduanya merupakan wahyu. Dan apa yang telah tetap dalam As-Sunnah sama saja dengan apa yang ditetapkan di dalam Al-Qur-an.

Allah Ta’ala berfirman,

وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ ۚ وَكَانَ فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكَ عَظِيمًا

“... Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab (Al-Qur-an) dan hikmah (As-Sunnah) kepadamu dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu sangat besar.” [An-Nisaa’: 113][3]

• Kiat-kiat Menghafal Al-Qur-an [4]
Dahulu menghafalkan Al-Qur-an dalam pandangan ulama merupakan hal pokok. Dengannya mereka memulai menuntut ilmu. Karena itulah mereka tidak pernah ragu memulai menghafal Al-Qur-an. Hafalannya menjadi ciri khas yang tampak di masyarakat ulama dan penuntut ilmu. Sebagian Salaf sangat menganggap aib karena tidak menghafal Al-Qur-an. Di antara buktinya adalah apa yang diungkapkan al-Hafizh Ibnu Hajar (wafat th. 852 H) dalam Taqriibut Tahdziib (I/664, no. 4529), tentang biografi ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah, “Dia adalah tsiqah, seorang hafizh yang terkenal, tetapi dia memiliki auham (sejumlah kesalahan) dan dikatakan dia tidak hafal Al-Qur-an.”[5]

Sesungguhnya menghafalkan Al-Qur-an bukan merupakan kewajiban atas seorang penuntut ilmu, tetapi hafalannya adalah kunci menuju jalan hafalan dan pemahaman. Hendaklah seorang penuntut ilmu mengetahui bahwa menghafalkan Al-Qur-an dan mengamalkannya dapat menambah ketinggian derajat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَ يَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ.

“Sesungguhnya Allah Ta’ala mengangkat (derajat) beberapa kaum dengan Kitab (Al-Qur-an) dan merendahkan yang lainnya dengan Al-Qur-an". [6]

Berikut beberapa hal yang dapat membantu se-orang penuntut ilmu dalam menghafal Al-Qur-an:

1. Berdo’a kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas agar diberikan kemudahan dalam menghafalkan Al-Qur-an. Hendaklah menghafal Al-Qur-an dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah Ta’ala.

2. Memperdengarkan semampunya ayat-ayat yang telah dihafalnya kepada seorang qari’ yang baik bacaan dan hafalannya.

3. Mengulang-ngulang ayat yang telah dihafal secara terjadwal dan berusaha untuk disiplin.

4. Menggunakan satu mushaf Al-Qur-an agar dapat menguatkan hafalan.

5. Mengulang-ngulang ayat yang dihafal sepuluh kali/dua puluh kali -boleh juga lebih- dengan berdiri, duduk, dan berjalan.

6. Membaca ayat-ayat yang baru dihafalkan dalam shalat karena dapat lebih melekatkan hafalan.

7. Membaca terjemah dan tafsir ayat yang telah dihafalkan.

8. Menjauhi dosa dan maksiyat.

Imam adh-Dhahhak (wafat th. 102 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidaklah seseorang mempelajari Al-Qur-an kemudian ia lupa, melainkan disebabkan dosa.” Beliau lalu membaca firman Allah,

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan musibah apapun yang menimpa kamu adalah karena perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” [Asy-Syuura: 30]

Kemudian beliau melanjutkan, “Musibah apakah yang lebih besar daripada melupakan al-Qur-an?” [7]

9. Menentukan jadwal yang teratur untuk menentukan batas hafalan harian (apa yang dihafal setiap hari).

Diusahakan untuk tidak menyelisihi aturan atau mengubahnya, kecuali karena ada hal-hal yang darurat untuk dilakukan.

10. Hendaknya ayat yang diahafal sedikit setiap hari agar lebih melekat

Bagi yang sudah hafal beberapa juz Al-Qur-an atau yang sudah hafal 30 juz, hendaklah ia selalu muraja'ah (mengulang-ngulang) hafalannya dan menjaganya dengan baik karena Al-Qur-an lebih cepat hilangnya daripada unta yang diikat.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ، فَوَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُتَا مِنَ الْإِبِلِ فِيْ عُقُلِهَا

Bacalah selalu Al-Qur'an ini. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh, Al-Qur-an itu lebih mudah lepas daripada seekor unta dalam ikatannya"[8]

• Kunci dalam Menghafal dan Mengingat
Ada beberapa hal penting yang dapat membantu penuntut ilmu dalam menghafalkan atau mengingat pelajarannya dengan gambaran yang baik, di antaranya:

1. Mengikhlaskan niat karena Allah dan mengharapkan ganjaran dari-Nya.

2. Menjauhi hal-hal yang diharamkan dan dilarang syari’at.

3. Hasil usaha yang baik, memakan makanan yang halal dan menjauhi yang haram.

4. Mengosongkan hati dari berbagai kesibukan.

5. Tidak menghafal pada saat sangat lapar, haus, capek, atau pada saat hatinya sibuk dengan urusan yang lain.

6. Berkemauan tinggi, bersungguh-sungguh, dan terus mengulangi pelajaran agar berhasil menghafal.

7. Tidak putus asa dengan jeleknya kemampuan menghafal dan terus mengulang-ngulang pelajaran.

8. Mengulangi pelajaran dengan suara yang dapat didengarnya karena mendengarkan pelajaran dapat membantunya dalam menghafal.

9. Menggunakan bantuan pena atau kertas untuk menyusun segala apa yang dapat membantunya dalam menghafal, atau mengulang-ngulang pela-jaran dengan cara ditulis.

10. Dan sebelum semua hal di atas, hendaklah selalu bertaqwa kepada Allah Ta’ala.[9]

Imam al-Bukhari rahimahullah adalah orang yang kuat hafalannya. Beliau pernah ditanya, "Apakah obat lupa itu?" Beliau menjawab, "Senantiasa melihat ke kitab" (Yaitu selalu membaca dan mengulanginya).[10]

• Waktu-waktu Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah menuturkan, “Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah ketika sahur; untuk membahas di pagi hari; untuk menulis di siang hari; dan untuk muthala’ah dan berdiskusi (mudzakarah) di malam hari.”

Al-Khatib al-Baghdadi (wafat th. 463 H) rahimahullaah mengatakan, “Waktu yang paling baik untuk menghafal adalah di waktu sahur, kemudian pertengahan hari, dan selanjutnya di pagi hari.” Beliau menambahkan, “Menghafal di malam hari lebih mendatangkan manfaat daripada menghafal di siang hari, dan ketika lapar (yang tidak sangat) lebih bermanfaat daripada ketika kenyang.” [11]

• Tempat Terbaik untuk Menghafal
Imam Ibnu Jama’ah mengatakan -menukil dari al-Khatib, “Tempat yang paling baik untuk menghafal adalah kamar dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang membuat lalai.” Beliau berkata, “Tidak baik apabila menghafal di tempat yang terdapat tumbuhan, di sekitar pohon-pohon yang menghijau, di tepi sungai, di tengah jalan, dan tempat yang bising karena hal itu (umumnya) dapat mencegah kosongnya hati (untuk menghafal).”[12]

• Penuntut Ilmu Harus Akrab dengan Al-Qur-an
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-sabda kepadaku,

اِقْرَإِ الْقُرْآنَ فِيْ كُلِّ شَهْرٍ، قَالَ: قُلْتُ: إِنِـّيْ أَجِدُ قُوَّةً. قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً، قَالَ: قُلْتُ: إِنِـّيْ أَجِدُ قُوَّةً، قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِيْ سَبْعٍ وَلَا تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ.

“Bacalah Al-Qur-an (sampai khatam) setiap bulan.” ‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu mengerjakan lebih dari itu.” Rasulullah bersabda, “Maka bacalah (sampai khatam) selama dua puluh hari.” ‘Abdullah berkata, aku berkata, “Sungguh, aku mampu melakukan lebih dari itu.” Rasulullah bersabda, “Jika demikian, bacalah (sampai khatam) selama tujuh hari dan jangan lebih dari itu.” [13]

Jundub bin ‘Abdullah bin Sufyan al-Bajali (wafat antara th. 60-70 H) radhiyallaahu ‘anhu pernah berwasiat, “Aku berwasiat kepada kalian, hendaklah bertakwa kepada Allah. Aku juga berwasiat kepada kalian agar selalu (membaca dan menghayati) kandungan Al-Qur-an karena ia adalah cahaya di malam yang kelam dan petunjuk di siang yang terang. Ketahuilah bahwa Al-Qur-an bisa menyebabkan kamu meraih sesuatu yang nilainya sangat tinggi... .”[14]

[Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
_______
Footnote
[1]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/1129-1130).
[2]. Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim (hal. 167-168).
[3]. Kitaabul ‘Ilmi (hal. 222-223) dengan sedikit perubahan.
[4]. Dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 193-200) dengan diringkas.
[5]. Taqriibut Tahdziib (1/664, no. 4529)
[6]. Hadits Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 817), dari Sha-habat ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu ‘anhu.
[7]. Mukhtashar Qiyaamul Lail (hal. 162), dinukil dari kitab Ma’aalim fii Thariiq Thalabil ‘Ilmi (hal. 200).
[8]. Hadits shahih : Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5033) dan Muslim (no. 791 (231)) dari Shahabat Abu Musa al-Asy'ari radhiyallaahu anhu
[9]. Dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal ‘Ilmi (hal. 59-60).
[10]. Jaami' Bayaanil 'Ilmi wa Fadhlihi (II/1277, no. 2414)
[11]. Tadzkiratus Saami’ wal Mutakallim fii Aadaabil ‘Aalim wal Muta’allim (hal. 118-119), karya Imam Ibnu Jama’ah rahimahullaah.
[12]. Ibid (hal. 119).
[13]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5054) dan Muslim (no. 1159 (184), lafazh ini milik Muslim.
[14]. Siyar A’laamin Nubalaa’ (III/174).

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/3277/slash/0/kiat-kiat-menghapal-al-qur-an-dan-as-sunnah/