Senin, 16 Desember 2013

Mendidik Anak

Sejak dini seharusnya anak sudah dididik dengan baik oleh orang tua. Dari rumah, anak sudah diajarkan akidah, akhlak, dan berbagai kewajiban ibadah. Pendidikan sebenarnya bukan hanya dituntut dari sekolah. Mendidik anak sudah semestinya dimulai dari lingkungan keluarga. Lihat contoh para salaf dan tuntunan Islam dalam hal ini.

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah (13: 11) disebutkan, “Bapak dan ibu serta seorang wali dari anak hendaknya sudah mengajarkan sejak dini hal-hal yang diperlukan anak ketika ia baligh nanti. Hendaklah anak sudah diajarkan akidah yang benar mengenai keimanan kepada Allah, malaikat, Al Qur’an, Rasul dan hari akhir. Begitu pula hendaknya anak diajarkan ibadah yang benar. Anak semestinya diarahkan untuk mengerti shalat, puasa, thoharoh (bersuci) dan semacamnya.”

Perintah yang disebutkan di atas adalah pengamalan dari sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya dari kakeknya radhiyallahu ‘anhu, beliau meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka“. (HR. Abu Daud no. 495. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kembali dilanjutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, “Hendaklah anak juga diperkenalkan haramnya zina dan liwath, juga diterangkan mengenai haramnya mencuri, meminum khomr (miras), haramnya dusta, ghibah dan maksiat semacam itu. Sebagaimana pula diajarkan bahwa jika sudah baligh (dewasa), maka sang anak akan dibebankan berbagai kewajiban. Dan diajarkan pula pada anak kapan ia disebut baligh.” (idem)

Perintah untuk mendidik anak di sini berdasarkan ayat,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At Tahrim: 6). Disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir (7: 321), ‘Ali mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah, “Beritahukanlah adab dan ajarilah keluargamu.”

Di atas telah disebutkan tentang perintah mengajak anak untuk shalat. Di masa para sahabat, mereka juga mendidik anak-anak mereka untuk berpuasa. Mereka sengaja memberikan mainan pada anak-anak supaya sibuk bermain ketika mereka rasakan lapar. Tak tahunya, mereka terus sibuk bermain hingga waktu berbuka (waktu Maghrib) tiba.

Begitu pula dalam rangka mendidik anak, para sahabat dahulu mendahulukan anak-anak untuk menjadi imam ketika mereka telah banyak hafalan Al Qur’an.

Begitu pula Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendidik ‘Umar bin Abi Salamah adab makan yang benar. Beliau berkata pada ‘Umar,

“Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (bacalah bismillah) ketika makan. Makanlah dengan tangan kananmu. Makanlah yang ada di dekatmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022).

Praktek dari Ibnu ‘Abbas, ia sampai-sampai mengikat kaki muridnya yang masih belia yaitu ‘Ikrimah supaya muridnya tersebut bisa dengan mudah menghafal Al Qur’an dan hadits. Lihat bahasan ini di Fiqh Tarbiyatil Abna’ karya Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, hal. 86-87.

Semoga Allah mengaruniakan pada kita anak-anak yang menjadi penyejuk mata.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id




Sabtu, 14 Desember 2013

Menjaga Anak dari Bahaya ‘Ain

Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ust. Subhan Khadafi, Lc.
Kenikmatan adalah hal yang didambakan setiap orang. Dan setiap kenikmatan juga dapat sekaligus menjadi ujian bagi seseorang. Salah satu kenikmatan yang dikaruniakan oleh Allah bagi sepasang insan adalah hadirnya sang buah hati dalam kehidupan. Ketika telah lahir, maka fisiknya yang lucu mengundang orang untuk memandang, memanjakan, menyentuhnya. Dan ketika tumbuh beranjak menjadi sosok kanak-kanak, tetap tingkah lakunya banyak mengundang perhatian orang.
Dengan sebab ini, maka perlulah kita ketahui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,“Setiap yang memiliki kenikmatan pasti ada yang iri (dengki).” (Shahihul Jami’ 223. Lihat majalah Al Furqon). Perlu menjadi perhatian bagi orang tua bahwa dalam syari’at Islam telah dijelaskan adanya bahaya ‘ain (pandangan mata) terutama bagi anak-anak. Pandangan mata yang berbahaya ini dapat muncul dengan sebab kedengkian orang yang memandang atau karena kekaguman.

Bahaya ‘Ain

Ibnu Qoyyim rohimahullah dalam kitab Tafsir Surat Muawwadzatain berkata, “Bahaya dari pandangan mata dapat terjadi ketika seseorang yang berhadapan langsung dengan sasarannya. Sasaran tukang pandang terkadang bisa mengenai sesuatu yang tidak patut didengki, seperti benda, hewan, tanaman, dan harta. Dan terkadang pandangan matanya dapat mengenai sasaran hanya dengan pandangan yang tajam dan pandangan kekaguman.” Pengaruh dari bahaya pandangan mata pun hampir mengenai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman-Nya,
وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al Qur’an dan mereka mengatakan ‘Sesungguhnya dia (Muhammad) benar-benar gila.” (Al Qalam [68]: 51)
Terdapat pula hadits dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
العين حقُُّ ولو كان شيء سابق القدر لسبقته العين
“Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, ‘ainlah yang dapat melakukannya.” (HR. Muslim)
Subhanallah, lihatlah bagaimana bahaya ‘ain telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan terdapat pula contoh-contoh pengaruh buruk ‘ain yang terjadi pada masa sahabat. Salah satunya adalah yang terjadi ada Sahl bin Hunaif yang terkena ‘ain bukan karena rasa dengki namun karena rasa takjub. Sebagaimana dalam hadits,
Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif menyebutkan bahwa Amir bin Rabi’ah pernah melihat Sahl bin Hunaif mandi lalu berkatalah Amir, “Demi Allah, Aku tidak pernah melihat (pemandangan) seperti hari ini, dan tidak pernah kulihat kulit yang tersimpan sebagus ini.” Berkata Abu Umamamh, “Maka terpelantinglah Sahl.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Amir. Dengan marah beliau berkata, “Atas dasar apa kalian mau membunuh saudaranya? Mengapa engkau tidak memohonkan keberkahan (kepada yang kau lihat)? Mandilah untuknya!” Maksudnya Nabi menyuruh Amir berwudhu kemudian diambil bekas air wudhunya untuk disiramkan kepada Sahl dan ini adalah salah satu cara pengobatan orang yang tertimpa ‘ain bila diketahui pelaku ‘ain tersebut (*). Maka Amir mandi dengan menggunakan satu wadah air. Dia mencuci wajah, kedua tangan, kedua siku, kedua lutut, ujung-ujung kakinya dan bagian dalam sarungnya. Kemudian air bekas mandinya itu dituangkan kepada Sahl, lantas dia sadar dan berlalulah bersama manusia.”(HR. Malik dalam al Muwaththa 2/938, Ibnu Majah 3509, dishahihkan oleh Ibnu Hibban 1424. sanadnya shahih, para perawinya terpercaya, lihat Zaadul Ma’ad tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abdul Qadir al Arnauth 4/150 cet tahun 1424 H. Lihat majalah Al Furqon).
(*) Kata mandi yang ada di sini maksudnya adalah berwudhu sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam kitab Al MuwatthoWallahu a’lam.
Tanda-Tanda Terkena ‘Ain
Tanda-tanda anak yang terkena ‘ain di antaranya adalah menangis secara tidak wajar (bukan karena lapar, sakit atau mengompol), kejang-kejang tanpa sebab yang jelas, tidak mau menyusu pada ibunya tanpa sebab, atau kondisi tubuh sang anak kurus kering dan tanda-tanda yang tidak wajar lainnya.
Sebagaimana dalam hadits dari Amrah dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata, “Pada suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah. Tiba-tiba beliau mendengar anak kecil menangis, lalu Beliau berkata,
ما لِصبيِّكم هذا يبكي قهلاََ استرقيتم له من العين
“Kenapa anak kecilmu ini menangis? Tidakkah kamu mencari orang yang bisa mengobati dia dari penyakit ‘ain?” (HR. Ahmad, Baqi Musnadil Anshar. 33304).
Begitu pula hadits Jabir radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata kepada Asma’ binti Umais, “Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku ini kurus kering? Apakah mereka kelaparan?” Asma menjawab, “Tidak, akan tetapi mereka tertimpa ‘ain”. Beliau berkata, “Kalau begitu bacakan ruqyah bagi mereka!” (HR. Muslim, Ahmad dan Baihaqi)
Berlindung dari Bahaya ‘Ain
Sesungguhnya syari’at Islam adalah sempurna. Setiap hal yang mendatangkan bahaya bagi umatnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu telah menjelaskan tentang perkara tersebut dan cara-cara mengantisipasinya. Begitu pula dengan bahaya ‘ain ini.
1. Bagi Seseorang yang Memungkinkan Memberi Pengaruh ‘Ain
Berdasarkan hadits Abu Umamah di atas maka hendaknya seseorang yang mengagumi sesuatu dari saudaranya maka yang baik adalah mendoakan keberkahan baginya. Dan berdasarkan surat Al Kahfi ayat 39, maka ketika takjub akan sesuatu kita juga dapat mengucapkan doa:
مَا شَآءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بِا للهِ
Artinya:
“Sungguh atas kehendak Allah-lah semua ini terwujud.”
2. Bagi yang Memungkinkan Terkena ‘Ain
Sesungguhnya ‘ain terjadi karena ada pandangan. Maka hendaknya orang tua tidak berlebihan dalam membanggakan anaknya karena dapat menimbulkan dengki ataupun kekaguman pada yang mendengar dan kemudian memandang sang anak. Adapun jika memang kenikmatan itu adalah sesuatu yang memang telah nampak baik dari kepintaran sang anak, fisiknya yang masya Allah, maka hendaknya orang tua mendoakan dengan doa-doa, dzikir dan ta’awudz yang telah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah surat muawadzatain (surat Annas dan al-Falaq). Ada pula do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta perlindungan untuk Hasan dan Husain, yaitu:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِِ وَ هَامَّةِِ وَ مِنْ كُلِّ عَيْنِِ لامَّةِِ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk.” (HR. Bukhari dalam kitab Ahaditsul Anbiya’: 3120)
Atau dengan doa,
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَِ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.” (HR. Muslim 6818).
Kemudian, terdapat pula do’a yang dibacakan oleh malaikat Jibril alaihissalam ketika Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat gangguan setan, yaitu:
بِسْمِ اللهِ أرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءِِ يُؤْذِيْكََ مِن شَرِّ كُلِّ نَفْسِِ وَ عَيْنِ حَاسِدِِ اللهُ يَشْفِيكَ
“Dengan menyebut nama Allah, aku membacakan ruqyah untukmu dari segala sesuatu yang menganggumu dari kejahatan setiap jiwa dan pengaruh ‘ain. Semoga Allah menyembuhkanmu.”
Dan terdapat do’a-do’a lain yang dapat dibacakan kepada sang anak untuk menjaganya dari bahaya ‘ain ataupun menyembuhkannya ketika telah terkena ‘ain. (lihat Hisnul Muslim oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani atau Ad Du’a min Al Kitab wa As Sunnah yang telah diterjemahkan dengan judul Doa-doa Dan Ruqyah dari Al-Qur’an dan Sunnah oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani)
Kesalahan-Kesalahan Dalam Penjagaan dari Bahaya ‘Ain atau Sejenisnya
Memang bayi sangat rentan baik dari bahaya ‘ain ataupun gangguan setan lainnya. Terdapat beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam menjaga anak dari gangguan tersebut karena tidak berdasarkan pada nash syari’at. Diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah:
  1. Menaruh gunting di bawah bantal sang bayi dengan keyakinan itu akan menjaganya. Sungguh ini termasuk kesyirikan karena menggantungkan sesuatu pada yang tidak dapat memberi manfaat atau menolak bahaya.
  2. Mengalungkan anak dengan ajimat, mantra dan sebagainya. Ini juga termasuk perbuatan syirik dan hanya akan melemahkan sang anak dan orang tua karena berlindung pada sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perlulah kita selalu mengingat, bahwa sekalipun kita mengetahui bahaya ‘ain memiliki pengaruh sangat besar dan berbahaya, namun tidaklah semua dapat terjadi kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita sebagai orang Islam tidaklah berlebihan dalam segala sesuatu. Termasuk dalam masalah ‘ain ini, maka seseorang tidak boleh berlebihan dengan menganggap semua kejadian buruk berasal dari ‘ain, dan juga tidak boleh seseorang menganggap remeh dengan tidak mempercayai adanya pengaruh ‘ain sama sekali dengan menganggapnya tidak masuk akal. Ini termasuk pengingkaran terhadap hadits-hadits shahih Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sikap yang terbaik bagi seorang muslim adalah berada di pertengahan, yaitu mempercayai pengaruh buruk ‘ain dengan tidak berlebihan sesuai dengan apa yang dikhabarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.
Update per tanggal 22 Januari 2012, Penulis mendapatkan faedah baru tentang mendoakan keberkahan agar orang lain tidak terkena ‘ain. Silakan baca selengkapnya di sini.
Maraji’:
  1. Majalah Al Furqon edisi 4 Tahun V/Dzulqo’dah 1426.
  2. Doa-Doa dan Ruqyah dari Al Qur’an dan Sunnah. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani. Media Hidayah. 2004.
  3. Tafsir Surah Muawwadzatain. Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Akbar. 2002.
  4. Tumbuh di Bawah Naungan Ilahi. Syaikh Jamal Abdul Rahman. Media Hidayah. 2002.
***
Artikel www.muslimah.or.id

Menjaga Rumah dari Gangguan Setan

umah adalah tempat berteduh bagi kita, tempat beristirahat dan tempat untuk mendapatkan kehangatan di tengah keluarga kita. Oleh karena itu, kita sangat mendambakan rumah yang nyaman, aman, damai dan tenang. Beberapa orang mungkin menmpuh cara-cara yang haram (kesyirikan) untuk mendapatkan hal tersebut, misalnya memasang tamimah (jimat), pergi ke dukun, dan lain-lain.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam memberikan resep yang mudah agar rumah kita senantiasa aman dari gangguan syaithan, yaitu dalam hadits berikut:

Dari Jabir bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Bila hari telah senja tahanlah anak-anakmu untuk tidak keluar rumah karena pada waktu itu banyak setan berkeliaran. Bila waktu telah berlalu, biarkanlah mereka, tutuplah pintu-pintu rumah, sebutlah nama Allah, karena setan tidak dapat membuka pintu-pintu yang tertutup. Tutuplah tempat minum dan sebutlah nama Allah, tutuplah bejana-bejana kalian dan sebutlah nama Allah, walau dengan meletakkan sesuatu di atasnya, dan matikan lampu-lampu.” (Mutafaqqun’alaihi)

Banyak sekali faedah yang kita dapat dari hadits ini, selain kita melindungi rumah dan anak-anak kita dari gangguan setan, juga terkandung faedah dalam menjaga makanan dari kotoran dan najis yang berasal dari hewan-hewan yang kotor (seperti tikus dan kecoak) di malam hari, sehingga tidak menimbulkan penyakit. Dan dipadamkannya lampu di malam hari adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran serta kalau jaman sekarang agar tidak boros dalam penggunaan listrik.

Semoga kita bisa istiqomah dalam mengamalkan hadits ini sehingga rumah dan keluarga kita dijauhkan dari gangguan syaithan.
*) Disadur ulang dari Tarbiyatul Abna (edisi terjemahan), Musthofa Al-Adawi

Artikel muslimah.or.id

Kamis, 04 Juli 2013

Kesibukan Orang-Orang Shalih di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan, bulan yang paling dinanti kaum muslimin sedunia. Dengan segala keistimewaannya, kedatangan bulan Ramadhan membuat orang-orang shalih semakin bertambah sibuk, dengan ibadah dan amal shalih, ibadah dan amal shalih.
Para salaf adalah orang-orang shalih yang merindu bulan Ramadhan. Mereka terus menanti dan tak henti berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan Ramadhan. Ketika Ramadhan telah tiba, mereka bersungguh-sungguh mengejar pahala serta meninggalkan dosa dan kelalaian. Mereka tak menyia-nyiakan kesempatan emas sekali setahun ini.
Serampai keutamaan bulan Ramadhan
عن كعب، قال: عن الله تعالى اختار من الشهور شهر رمضان واختار من البلاد مكة واختار من الليالي ليلة القدر، واختار الساعات للصلوات، فالمؤمن بين حسنتين فحسنة قضاها وأخرى ينتظرها.
Dari Ka’ab; dia bertutur, “Allah ta’ala telah memilih bulan Ramadhan di antara sekian bulan yang ada. Dia pun telah memilih Mekkah di antara negeri-negeri yang terhampar. Dia telah memilih lailatul qadr di antara beragam malam. Dia telah memilih waktu-waktu tertentu (bagi hamba-hamba-Nya) untuk menunaikan shalat. Karenanya, seorang mukmin berada di antara dua kebaikan. Satu kebaikan telah ia laksanakan, sedangkan kebaikan yang lain masih dinantinya.” (Hilyatul Auliya’, juz 2, hlm. 458)
فجعل ليلة القدر خيرا من ألف شهر وجعل شهر رمضان سيد الشهور ويوم
“Maka Dia menjadikan lailatul qadr lebih baik dibandingkan seribu bulan. Dia juga telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai penghulu seluruh bulan dan hari.” (I’lamul Muwaqqi’in, juz 2, hlm. 73)
قال ابن الطوير: ولم يكن لهم أسمطة عامة في سوى العيدبن وشهر رمضان .
Ibnu Ath-Thuwair berkata, “Tak ada tradisi yang menyeluruh bagi kaum muslimin selain pada dua hari ‘Ied dan bulan Ramadhan.” (Subhul A’sya, juz 2, hlm. 5)
أنه اليوم الذي يستحب أن يتفرغ فيه للعبادة وله على سائر الأيام مزية بأنواع من العبادات واجبة ومستحبة فالله سبحانه جعل لأهل كل ملة يوما يتفرغون فيه للعبادة ويتخلون فيه عن أشغال الدنيا فيوم الجمعة يوم عبادة وهو في الأيام كشهر رمضان في الشهور وساعة الإجابة فيه كليلة القدر في رمضان ولهذا من صح له يوم جمعته وسلم سلمت له سائر جمعته ومن صح له رمضان وسلم سلمت له سائر سنته ومن صحت له حجته وسلمت له صح له سائر عمره فيوم الجمعة ميزان الأسبوع ورمضان ميزان العام والحج ميزان العمر وبالله
“Sesungguhnya, ini adalah hari yang dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Dalam setiap hari dia memiliki keistimewaan dengan beragam bentuk ibadah, baik yang wajib maupun yang mustahab. Allah –Mahasuci Dia– telah menjadikan satu hari khusus untuk umat setiap agama*, yang mereka habiskan untuk beribadah dan menyingkir dari kesibukan dunia. Hari Jumat adalah hari untuk beribadah. Hari jumat dalam satu pekan, sebagaimana ramadhan dalam satu tahun. Waktu yang mustajab pada hari Jumat bagaikan lailatul qadr pada bulan Ramadhan.
Oleh karena itu, barang siapa yang sukses dan selamat dalam menjalani hari Jumat maka akan sukses pula seluruh hari dalam satu pekannya. Barang siapa yang sukses dan selamat menjalani Ramadhan, sukses pula sepanjang tahunnya. Barang siapa yang sukses dan selamat dalam menunaikan haji, sukses pula seluruh usia. Hari Jumat merupakan timbangan satu pekan, Ramadhan adalah timbangan satu tahun, dan haji adalah timbangan sepanjang usia. Semoga Allah berkenan menghadiahkan hidayah taufik.” (Zadul Ma’ad, juz 1, hlm. 386, poin ke-23)
(*Agama yang disyariatkan Allah untuk umat para nabi terdahulu maupun umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallampen. )
Teladan Al-Mushthafa shallallahu ‘alaihi wa sallam
وكان من هديه صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان الإكثار من العبادات فكان جبريل عليه الصلاة و السلام يدارسه القرآن في رمضان وكان إذا لقيه رمضان أجود بالخير من الريح المرسلة وكان أجود الناس وأجود ما يكون في رمضان يكثر فيه من الصدقة والإحسان وتلاوة القرآن والصلاة والذكر والإعتكاف
“Di antara petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan adalah memperbanyak ibadah. Jibril ‘alaihishshalatu wassalam mengajarkan Al Quran kepada beliau saat Ramadhan. Jika Ramadhan tiba, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi lebih dermawan bagai angin yang berembus; beliau adalah manusia yang paling dermawan dan menjadi semakin dermawan di bulan Ramadhan. Kala itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak bersedekah, berbuat kebajikan, membaca Al Quran, shalat, berzikir, dan beri’tikaf.” (Zadul Ma’ad, juz 2, hlm. 30)
Mereka sibuk membaca dan merenungi Al Quran
عن منصور، عن إبراهيم، قال: كان الأسود يختم القرآن في رمضان في كل ليلتين، وكان ينام بين المغرب والعشاء وكان يختم القرآن في غير رمضان كل ست ليال.
Dari Manshur dari Ibrahim; dia berkata, “Aswad mengkhatamkan Al Quran setiap dua malam selama bulan Ramadhan. Dia tidur antara maghrib dan isya. Pada selain bulan Ramadhan, dia mengkhatamkan Al Quran setiap enam malam.” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 250)
أنه كان يختم القرآن في كل سبع ليال مرة، فإذا جاء رمضان ختم في كل ثلاث ليال مرة، فإذا جاء العشر ختم في كل ليلة مرة
“Sungguh, Qatadah mengkhatamkan Al Quran tiap tujuh malam. Kemudian jika bulan Ramadhan tiba, dia mengkhatamkan Al Quran tiap tiga malam. Kemudian, jika sepuluh hari terakhir Ramadhan datang, dia mengkhatamkan Al Quran sekali dalam semalam.” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 364)
كان أبو رجاء يختم بنا في قيام رمضان لكل عشرة أيام.
“Abu Raja’ mengkhatamkan Al Quran saat mengimami qiyamul lail di bulan Ramadhan setiap sepuluh hari.” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 348)
Mereka sibuk berdoa
عن أبي عمرو الأوزاعي، قال: كان يحيى بن أبي كثير يدعو حضرة شهر رمضان: اللهم سلمني لرمضان وسلم لي رمضان وتسلمه مني متقبلاً.
Dari Abu ‘Amr Al-Auza’i; dia berkata, “Yahya bin Abi Katsir berdoa memohon kehadiran bulan Ramadhan, ‘Ya Allah, selamatkanlah aku agar bisa berjumpa dengan Ramadhan, selamatkanlah aku agar berhasil menjalani Ramadhan, dan terimalah amalku.’” (Hilyatul Auliya’, juz 1, hlm. 420)
Mereka sibuk bersedekah
عن مغيرة، قال: كان عبد الرحمن بن أبي نعم يفطر في رمضان مرتين، وكنا إذا قلنا له كيف أنت يا أبا الحكم؟ قال: إن نكن أبراراً فكرام أتقياء، وإن نكن فجاراً فلئام أشقياء.
Dari Mughirah; dia berkata, “Abdurrahman bin Abi Ni’am menyediakan hidangan buka puasa sebanyak dua kali saat Ramadhan. Jika kami berkata kepadanya, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai Abul Hikam?’ maka dia berujar, ‘Jika kita adalah pelaku kebajikan, betapa mulia orang-orang yang bertakwa. Jika kita adalah pendosa, betapa terhinanya orang-orang yang celaka.’” (Hilyatul Auliya’, juz 2, hlm. 292)
عن الصلت بن بسطام قال: كان حماد بن أبي سليمان يفطر كل ليلة في شهر رمضان مائة إنسان. فإذا كان ليلة الفطر كساهم ثوبا ثوبا وأعطاهم مائة مائة.
Dari Ash-Shultu bin Bashtham; dia berkata, “Setiap malam, Hammad bin Abi Sulaiman menyajikan hidangan buka puasa untuk seratus orang selama bulan Ramadhan. Jika malam Idul Fitri telah tiba, dia akan membagikan pakaian kepada mereka satu per satu, serta memberi mereka uang masing-masing seratus.” (Al-Karamu wal Juwdu wa Sakha’un Nufusi, juz 1, hlm. 5)
Maraji’:
Al-Karamu wal Juwdu wa Sakha’un Nufusi, Al-Barjalani, Maktabah Asy-Syamilah.
Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
I’lamul Muwaqqi’in, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Subhul A’sya, Al-Qalqasyindi, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
***
artikel muslimah.or.id
Penulis: Athirah Ummu Asiyah
Muraja’ah: Ustadz  Ammi Nur Baits

Menggemarkan Membaca Al-Qur’an di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan, dikenal juga dengan ‘Bulan Al Qur’an’ karena pada bulan inilah AlQur’an diturunkan
Allah Ta’ala berfirman,
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” Qs Al Baqarah : 185
Bersungguh sungguhlah untuk memperbanyak bacaan Al-Quran yang penuh berkah, terutama pada bulan ini, bulan diturunkannya Al-Qur’an. pembacaan AlQu’an pada bulan ini memiliki keistimewaan tersendiri. Dahulu Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam setiap tahun sekali pada bulan ramadhan. Pada tahun wafatnya Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam Jibril mendatangi dan mengajarkan Al-Qur’an kepada beliau sebanyak dua kali untuk mengokohkan dan memantapkannya.
Para salafus shaalih rahimahumullah memperbanyak membaca AlQur’an pada bulan ramadhan, baik di dalam maupun di dalam shalat. Berikut ini adalah beberapa contohnya.
Imam az-zuhri rahimahullohu berkata, pada saat memasuki bulan ramadhan, “Ini adalah bulan pembacaan AlQur’an dan pemberian makanan.”
Ketika memasuki ramadhan, Imam malik rahimahulloh meninggalkan pembacaan hadits dan majelis majelis ilmu lalu beliau memfokuskan diri untuk membaca AlQur’an dengan memakai mushaf.
Qatadah selalu mengkhatamkan Qur’an setiap tujuh malam, namun pada bulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Quran dalam tiga hari, bahkan pada sepuluh malam terakhir, beliau mengkhatamkannya setiap malam.
Ibrahim an Nakha’i rahimahullah menkhamkan Al-Quran setiaptiga malam da pada sepuluh malam terakhir beliau mengkhatamkannya tiap dua malam.
Adapun Al-Aswad rahimahulloh, beliau membaca seluruh ayat alQur’an setiap duahari pada setiap bulan.
Maka, jadikanlah orang orang pilihan tersebut sebagai teladan kalian. Ikutilah jalan mereka dan pergunakanlah kesempatan pada waktu siang dan malam dengan sebaik baiknya untuk mendekatkan diri kalian kepada Yang maha Perkasa lagi maha Pengampun.Ketahuilah, umur itu hilang dengan cepat dan waktu itu akan sirna seluruhnya, seolah olah hanya sekejap mata saja.
Ya Allah, berilah karunia kepada kami untuk dapat membaca kitabMu sesuai dengan cara yang Engkau Ridhai dari kami. Dengannya tunjukkanlah kami jalan jalan keselamatan dan keluarkanlah kami dari kegelapan kepada cahaya. Wahai pemilik dan Pengatur alam Semesta, jadikanlah ia sebagai hujjah yang memperkuat kami, bukan hujjah yang mencelakakan kami.
Disalin dari Majelis Bulan Ramadhan – Syaikh Muhammad bin Shalih al- Utsaimin -rahimahulloh-, Pustaka Imam Syafi’i

Melakukan Safar Pada Bulan Ramadhan, Berbuka atau Tetap Puasa?

Manakah yang Lebih Afdhal Bagi Wanita yang Melakukan Safar Pada Bulan Ramadhan, Berbuka atau Tetap Puasa
Seorang wanita yang sedang melakukan safar (perjalanan) dibolehkan untuk berbuka, berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala yang artinya,
وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Dan barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah: 185)
Namun, untuk menimbang mana yang lebih afdhal, apakah berbuka atau tetap berpuasa, maka dapat dilihat kepada tiga keadaan, yaitu: [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/457-458)]
Pertama: Perjalanan tersebut membuatnya berat (lemah) dalam menjalankan puasa dan menghalangi dirinya untuk berbuat kebaikan, maka ketika itu berbuka lebih baik baginya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat sekelompok orang yang sedang melakukan perjalanan, berdesakan dan seseorang sedang diteduhi karena dia sedang berpuasa,
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Bukan termasuk kebaikan (baginya), berpuasa dalam perjalanan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari dalam Shahih-nya (no. 1946) dan Muslim dalam Shahih-nya (no. 1115), dari Jabir radhiyallahu 'anhu]
Kedua: Perjalanan tersebut tidak membuatnya merasa berat (lemah) dalam menjalankan puasa dan tidak menghalanginya dalam melakukan kebaikan, maka berpuasa lebih baik baginya daripada berbuka. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala yang artinya,
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 184)
Ketiga: Perjalanan yang dilakukannya itu dirasa sangat berat olehnya dalam keadaan berpuasa dan dapat menyebabkan kematian apabila ia tetap berpuasa. Maka ketika itu, dia wajib untuk berbuka dan haram hukumnya berpuasa. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala,
وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
“… dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Qs. An-Nisaa’: 29)
***
artikel muslimah.or.id (Bagian ke 4 dari pembahasan: Problema Muslimah di Bulan Ramadhan)
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Maraji’:
  • Al-Adzkar an-Nawawi, Imam an-Nawawi; takhrij, tahqiq dan ta’liq oleh Syaikh Amir bin Ali Yasin, cet. Daar Ibn Khuzaimah
  • Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif
  • Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
  • Meneladani Shaum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Syarah Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Tamamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Daar ar-Raayah
  • Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Darul Qolam

Bersemilah Ramadahan

Wahai Engkau yang tidak cukup melakukan dosa pada Rajab
Lalu Engkau sambung kembali pada bulan Sya’ban
Telah datang bulan puasa kepadamu setelah keduanya
Janganlah Engkau jadikan lagi bulan itu bulan dosa
Bacalah Al Quran dan bersungguhlah dalam bertasbih
Karena bulan itu bulan Al Quran dan tasbih
Berapa banyak yang engkau kenal mereka yang berpuasa
Dari keluarga, tetangga dan saudara
Mereka telah dimusnahkan oleh kematian
Menyisakan dirimu
Alangkah dekatnya yang sekarang dengan yang terdahulu
***
Ust Armen Halim Naro dalam Buku Bersemilah Ramadhan


Wanita Ingin Mengulang Hafalan al-Qur’annya Pada Bulan Ramadhan Sementara Dia Haidh/Nifas

Wanita Ingin Mengulang Hafalan al-Qur’annya Pada Bulan Ramadhan Sementara Dia Sedang Haidh/Nifas
Menjaga al-Qur’an merupakan suatu keharusan, karena hal ini sangat membantu dalam melestarikan hafalan dan menjaganya agar tidak terlepas dari ingatan (lupa). Manusia sangat cepat melupakan hafalan al-Qur’annya jika ia tidak selalu mengulangnya denganmuraja’ah (mengulang-ulang bacaan) dan tilawah (membaca). Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَعَاهَدُوا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنْ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا وَلَفْظُ الْحَدِيثِ لِابْنِ بَرَّادٍ .
“Ulang-ulangilah (hafalan) al-Qur’an. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya al-Qur’an itu lebih cepat hilang dari hati manusia daripada unta yang terlepas dari ikatannya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5033) dan Muslim (no. 791) dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu]
Hal ini juga dapat terjadi kepada kaum wanita, namun kemudian timbul permasalahan mengenai hukum yang ditetapkan bagi seorang wanita haidh atau nifas untuk membaca dan menyentuh al-Qur’an. Telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai boleh atau tidaknya seorang wanita yang sedang haidh atau nifas menyentuh al-Qur’an dalam rangka membacanya atau menghafalnya. Pihak yang melarang berdalil dengan firman Allah Ta’ala yang artinya,
لا يَمَسُّهُ إِلا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. Al-Waaqi’ah: 79)
Dan riwayat yang berbunyi,
لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang suci.” [Hadits shahih. LihatIrwaa-ul Ghalil (I/158)]
Dalil yang digunakan untuk maksud pelarangan di atas bukan ditujukan kepada orang yang memiliki hadats, baik hadats besar maupun hadats kecil. Pengecualian yang disebutkan pada surat al-Waaqi’ah ayat 79 dimaksudkan kepada para Malaikat yang disucikan oleh Allah ta’ala, sebagaimana disebutkan pada ayat sebelumnya bahwa al-Qur’an yang dimaksudkan adalah yang tersimpan di Lauh Mahfuzh. Sedangkan pengecualian yang disebutkan dalam hadits di atas maknanya adalah untuk orang mukmin. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
“Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim no. ]
Maka hadits di atas dimaknai sebagai larangan menyentuh al-Qur’an oleh selain orang mukmin, yaitu orang musyrik, dan bukan kepada wanita haidh atau nifas.
Adapun dalil-dalil yang menyebutkan tentang larangan bagi wanita yang sedang haidh atau nifas membaca al-Qur’an, semuanya memiliki ‘illat atau cacat. Dan tidak ada riwayat shahih dan sharih (tegas) yang menyebutkan tentang larangan bagi wanita haidh atau nifas untuk membaca al-Qur’an. Selain itu, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdzikir dalam setiap keadaan, baik dalam keadaan suci maupun berhadats. [Hadits shahih. Riwayat Muslim dalam Shahih-nya (I/194)]
Hadits di atas menunjukkan tentang bolehnya wanita haidh atau nifas dan orang junub membaca al-Qur’an. Karena berdzikir secara umum mencakup ke dalam membaca al-Qur’an. [Lihat Syarah Riyadhush Shalihin (IV/389)]
Dengan demikian, jika dilihat dari sisi daliliyah, maka wanita haidh maupun nifas boleh menyentuh mushaf al-Qur’an dalam rangka membacanya dan atau menghafalnya. Namun, membaca al-Qur’an dan menyentuhnya dalam keadaan suci (berwudhu) adalah lebih diutamakan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ عَلَى طَهَارَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak suka menyebut nama Allah (berdzikir) kecuali dalam keadaan suci (berwudhu).” [Hadits shahih. Riwayat Abu Dawud (no. 17), an-Nasa'i (I/16), Ibnu Majah (no. 350), ad-Daarimi (II/287) dan Ahmad (V/80). Lihat juga Silsilah ash-Shahiihah (no. 834)]
Maka solusi lain bagi wanita yang sedang haidh maupun nifas, jika ingin mengulang hafalan Qur’annya, insya Allah, dapat dibantu dengan mendengarkan suara qari’ melalui kaset murattal, atau dapat membuka aplikasi al-Qur’an melalui komputer (atau perangkat sejenis), atau dapat juga meminta orang lain untuk membacakan ayat atau surat yang ingin dihafal. Sesungguhnya Allah hendak memudahkan dan bukan menyulitkan.
***
artikel muslimah.or.id (Bagian ke 3 dari pembahasan: Problema Muslimah di Bulan Ramadhan)
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
  • Al-Adzkar an-Nawawi, Imam an-Nawawi; takhrij, tahqiq dan ta’liq oleh Syaikh Amir bin Ali Yasin, cet. Daar Ibn Khuzaimah
  • Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif
  • Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
  • Meneladani Shaum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Syarah Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Tamamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Daar ar-Raayah
  • Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Darul Qolam

Hal-Hal yang Dapat Mendukung Wanita untuk Mencapai Ketaatan Selama Bulan Ramadhan

Hal-Hal yang Dapat Mendukung Wanita untuk Mencapai Ketaatan Selama Bulan Ramadhan
Syaikh Shalih al-Fauzan pernah ditanya: “Hal-hal apa sajakah yang dapat mendukung wanita untuk mencapai ketaatan kepada Allah selama bulan Ramadhan?”
Asy-Syaikh menjawab: “Hal-hal yang mendukung seorang Muslim, baik pria maupun wanita untuk melakukan ketaatan kepada Allah di bulan Ramadhan adalah:
  • Takut kepada Allah yang disertai keyakinan bahwa Allah ta’ala senantiasa mengawasi hamba-Nya dalam seluruh perbuatannya, ucapannya dan niatnya, dan bahwa semua perbuatan itu akan mendapat balasan. Jika seorang muslim telah memiliki perasaan ini maka ia akan menyibukkan dirinya dengan segala macam ketaatan kepada Allah dan bersegera untuk bertaubat dari segala macam maksiat.
  • Memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala dan membaca al-Qur’an, karena dengan demikian hatinya akan menjadi lunak, sebagaimana firman Allah ta’ala,
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.” (Qs. Ar-Ra’d: 28)
Dan firman-Nya,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka.” (Qs. Al-Anfaal: 2)
  • Menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan hati menjadi keras dan menjauhkan dirinya dari Allah ta’ala, yaitu seluruh perbuatan maksiat, bergaul dengan teman-teman yang kurang baik, memakan makanan yang haram, lalai dalam mengingat Allah ta’ala dan banyak menyaksikan acara-acara yang merusak.
  • Hendaknya para wanita tetap tinggal di dalam rumahnya dan tidak keluar dari rumahnya kecuali untuk suatu keperluan yang mendesak dan segera kembali ke rumahnya apabila keperluannya tersebut telah terpenuhi.
  • Tidur pada malam hari dan menghindari begadang, karena yang demikian itu akan membantunya untuk bangun dan beribadah pada penghujung malam. Hendaknya mengurangi waktu tidur di siang hari sehingga dapat melakukan shalat lima waktu tepat pada waktunya serta dapat memanfaatkan waktu senggangnya untuk ketaatan.
  • Menjaga lidahnya dari ghibah (menggunjing atau membicarakan aib orang lain), mengadu domba (menebarkan provokasi), qauluz zuur (berkata dusta) dan mengumbar perkataan haram dan tidak bermanfaat lainnya, sebagai penggantinya hendaklah dia menyibukkan dirinya dengan berdzikir.” [Lihat Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (I/278-279)]
Itulah beberapa masalah yang kerap ditemui oleh kaum wanita selama bulan Ramadhan. Semoga solusi yang disajikan dapat menambah khazanah keilmuan kita dan dapat memberi manfaat kepada yang membutuhkan.
Wallahu a’lam wal musta’an.
***
artikel muslimah.or.id (Bagian ke 5 dari pembahasan: Problema Muslimah di Bulan Ramadhan)
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
  • Al-Adzkar an-Nawawi, Imam an-Nawawi; takhrij, tahqiq dan ta’liq oleh Syaikh Amir bin Ali Yasin, cet. Daar Ibn Khuzaimah
  • Ahkaamul Janaaiz wa Bida’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif
  • Ensiklopedi Adab Islam Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, ‘Abdul ‘Aziz bin Fathi as-Sayyid Nada, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
  • Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
  • Meneladani Shaum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dan Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Syarah Riyadhush Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i
  • Tamamul Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Daar ar-Raayah
  • Tiga Hukum Perempuan Haidh dan Junub, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Darul Qolam