Senin, 22 April 2013

Utamakan Menikah


UTAMAKAN MENIKAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada suatu kebiasaan yang sudah meyebar, yaitu adanya gadis remaja atau orang tuanya menolak orang yang melamarnya, dengan alasan madih hendak menyelesaikan studinya di SMU atau di Perguruan Tinggi, atau sampai karena untuk mengajar dalam beberapa tahun. Apa hukumnya ? Apa nasihat Syaikh bagi orang-orang yang melakukannya, bahkan ada wanita yang sudah mencapai usia 30 tahun atau lebih belum menikah ?

Jawaban.
Nasehat saya kepada semua pemuda dan pemudi agar segera menikah jika ada kemudahan, karena Nabi Shallallau 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kesanggupan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kesucian farji ; dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya". [Muttafaq 'Alaih]

Sabda beliau juga.

"Artinya : Apabila seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya datang kepadamu untuk melamar, maka kawinkanlah ia ( dengan putrimu), jika tidak niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi ini". [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, dengan sanad Hasan]

Sabda beliau lagi.

"Artinya : Kawinkanlah wanita-wanita yang penuh kasih sayang lagi subur (banyak anak), karena sesungguhnya aku akan menyaingi ummat-umat lain dengan jumlah kalian pada hari kiamat kelak".

Menikah juga banyak mengandung maslahat yang sebagiannya telah disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti terpalingnya pandangan mata (dari pandangan yang tidak halal), menjaga kesucian kehormatan, memperbanyak jumlah ummat Islam serta selamat dari kerusakan besar dan akibat buruk yang membinasakan.

Semoga Allah memberi taufiqNya kepada segenap kaum Muslimin menuju kemaslahatan urusan agama dan dunia mereka, sesungguhnya Dia Maha Mendengar Lagi Maha Dekat

[Fatwa Syaikh Bin Baz di dalam Majalah Al-Da'wah, edisi 117]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/418/slash/0/utamakan-menikah/

Usia Ideal Menikah


USIA IDEAL MENIKAH


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Berapa usia ideal untuk menikah bagi perempuan dan laki-laki, karena ada sebagian remaja putri yang menolak dinikahi oleh lelaki yang lebih tua darinya ? Dan demikian pula banyak laki-laki yang tidak mau menikahi perempuan yang lebih tua daripada mereka. Kami memohon jawabannya. Jazakumullahu khairan

Jawaban.
Saya berpesan kepada para remaja putri agar tidak menolak lelaki karena usianya yang lebih tua dari dia, seperti lebih tua 10,20 atau 30 tahun. Sebab hal itu bukan alasan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri menikahi Aisyah Radhiyallahu 'anha, ketika beliau berusia 53 tahun, sedangkan Aisyah baru berusia 9 tahun. Jadi usia lebih tua itu tidak berbahaya, maka tidak apa-apa perempuannya yang lebih tua dan tidak apa-apa pula kalau laki-lakinya yang lebih tua.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menikahi Khadijah Radhiyallahu 'anha yang pada saat itu berumur 40 tahun, sedangkan Rasulullah masih berusia 25 tahun sebelum beliau menerima wahyu. Itu artinya Khadijah lebih tua 15 tahun dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian menikahi Aisyah Radhiyallahu 'anha sedang umurnya baru enam tahun atau tujuh tahun dan beliau menggaulinya ketika dia berumur sembilan tahun sedang beliau lima puluh tiga tahun.

Banyak sekali mereka yang berbicara di radio-radio atau di televisi menakut-nakuti orang karena kesenjangan usia antara suami dan istri. Ini adalah keliru besar ! Mereka tidak boleh berbicara demikian ! Kewajiban setiap perempuan adalah melihat dan memperhatikan laki-laki yang akan menikahinya, lalu jika dia seorang yang shalih dan cocok, maka hendaknya ia menerima lamarannya, sekalipun lebih tua darinya.

Demikian pula bagi laki-laki, hendaknya lebih memperhatikan perempuan yang shalihah yang komit dalam beragama, sekalipun lebih tua darinya selagi perempuan itu masih dalam batas usia remaja dan produktif. Walhasil, bahwa masalah usia itu tidak boleh dijadikan sebagai penghalang dan tidak boleh dijadikan sebagai cela, selagi laki-laki atau perempuan itu adalah sosok lelaki shalih dan sosok perempuan shalihah. Semoga Allah memperbaiki kondisi kita semua.

[Fatawa Mar'ah, hal.54 oleh Syaikh Bin Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/429/slash/0/usia-ideal-menikah/

Menikahnya Gadis Remaja Itu Lebih Penting Daripada Melanjutkan Studi


MENIKAHNYA GADIS REMAJA ITU LEBIH PENTING DARIPADA MELANJUTKAN STUDI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saudari berinisial MZ dari kota Thanjah di Maroko melayangkan suratnya yang menyatakan keinginan untuk mengetahui pandangan Islam di dalam problem yang sedang ia hadapi, seraya berkata : "Ketika masih kecil saya sangat bahagia sekali dan banyak teman-teman yang iri karena kebahagian itu sampai saya menjadi remaja yang layak menikah.

Kemudian ada sebagian lelaki yang ingin menikah datang ke rumah kami untuk melamar saya, namun kedua orang tua saya menolaknya dengan alasan saya harus menyelesaikan studi. Saya sudah sering berupaya meyakinkan kepada mereka bahwa saya mau menikah, dan (saya jelaskan) bahwa menikah tidak akan menggangu studi saya, namun mereka tetap bersikeras menolak untuk merestuinya.

Lalu, apakah boleh saya menikah tanpa persetujuan mereka berdua ? Jika tidak, apa yang harus saya lakukan ? Berilah saya jawabnya, semoga Allah berbelas kasih kepada Syaikh.

Jawaban
Tidak diragukan lagi bahwa penolakan kedua orang tua anda untuk menikahkan anda dengan orang yang pantas adalah merupakan perbuatan haram, (sebab) menikah itu lebih penting daripada sekolah dan juga tidak menapikan sekolah, karena dapat dipadukan. Maka dalam kondisi seperti ini boleh anda menghubungi Kantor Pengadilan Agama untuk menyampaikan apa yang telah terjadi, dan keputusan pada mereka (Kantor Pengadilan itu). (Kalau Kantor Pengadilan Agama menyetujui anda menikah, maka boleh anda menikah tanpa persetujuan kedua orang tua, -pent)

[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2, hal 754]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juarisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Sumber:  http://almanhaj.or.id/content/445/slash/0/menikahnya-gadis-remaja-itu-lebih-penting-daripada-melanjutkan-studi/


Syarat Nikah Dengan Menceraikan Isteri Pertama


SYARAT NIKAH DENGAN MENCERAIKAN ISTERI PERTAMA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh




Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Apabila seorang wanita mau dinikahi dengan syarat isteri pertama diceraikan, bagaimana jika ia tahu hukumnya dan bagaimana jika ia tidak tahu hukumnya?

Jawaban
Apabila seorang wanita mau menikah dengan syarat istri pertama ditalak menurut pendapat Abil Khattab penikahan sah. Akan tetapi menurut Syaikh Taiyuddin pernikahan tersebut tidak sah dan inilah pendapat yang benar. Tidak boleh bagi seorang wanita mau dinikah dengan syarat isteri pertama dicerai dan jika tetap bersikeras mensyaratkan seperti itu, maka syarat tersebut dinyatakan sia-sia. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Setiap syarat yang tidak dibenarkan oleh aturan Allah maka syarat tersebut bathil”

Dan dalam hadits yang lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah seorang wanita meminta suaminya untuk mentalak isteri lainnya untuk mendapatkan sesuatu yang tidak menjadi haknya”.

Apabila seorang wanita tidak mau menikah kecuali dengan syarat isteri yang pertama diceraikan dan ia tidak rela jika mengetahui isteri pertama belum ditalak sementara ia tahu bahwa syarat tersebut bathil maka persyaratan tersebut dinyatakan sia-sia. Sebab bila wanita mengetahui hukum sesuatu tetapi tetap melanggarnya, maka ia harus diberi sanksi untuk tidak mendapatkannya kecuali bila ia tidak tahu, maka pernikahannya dibatalkan karena akad nikahnya tidak memiliki persyaratan.

[Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/143]

MENIKAH DENGAN SYARAT TIDAK BOLEH KELUAR RUMAH


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh ditanya : Seorang wanita dan walinya mensyaratkan, mau melangsungkan pernikahan dengan syarat suaminya tidak membawanya keluar dari kampung atau negaranya?

Jawaban
Apabila seorang wanita dan walinya sepakat tidak mau melangsungkan pernikahan kecuali dengan syarat setelah menikah isterinya tidak diajak pindah ke negeri lain, maka syarat tersebut sah dan harus dipenuhi, hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Uqbah Ibnu Amir bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya syarat-syarat yang paling berhak dipenuhi adalah syarat yang telah kamu sepakati dalam pernikahan”

Dan Atsram meriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki menikah dengan wanita, dan wali wanita mensyaratkan ia tetap tinggal bersama keluarganya, kemudian suaminya ingin mengajaknya pindah, lalu keluarganya melaporkan hal tersebut kepada Umar dan beliau membenarkan syarat tersebut. Akan tetapi bila isterinya rela diajak untuk pindah, maka suaminya boleh membawanya pindah.

[Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Juz 10/146]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita 2, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/977/slash/0/syarat-nikah-dengan-menceraikan-isteri-pertama/

Wanita Tidak Boleh Menikahkan Diri Sendiri, Wanita Menikah Tanpa Seizin Walinya


WANITA TIDAK BOLEH MENIKAHKAN DIRINYA SENDIRI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : Telah sampai pada saya bahwa ada seorang wanita Australia menikah tanpa wali, tidak disebutkan berapa maharnya dan tidak disaksikan kecuali oleh dua orang yaitu seorang laki-laki muslim dan seorang wanita Nashrani ibunda mempelai wanita. Di dalam proses akad disaksikan oleh teman-temannya serta wanita pencatat perkawinan yang Kristen pula. Setelah dua tahun dari masa penikahan wanita tersebut masuk Islam dan dikaruniai dua anak. Ia bertanya tentang sah tidaknya pernikahan tersebut dan bila tidak sah, apa yang harus dilakukannya dan bagaimana shalatnya karena ia tidak menguasai kecuali bahasa Inggris?

Jawaban
Akad nikah yang telah disebutkan di atas hukumnya tidak sah karena tidak ada wali dan dua orang saksi, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Tidak (sah akad) nikah tanpa wali dan dua orang saksi”

Dan jika mahar tidak disebutkan pada saat akad nikah, maka belum halal. Adapun cara untuk membenarkan kembali akad nikah, yaitu dengan mengadakan pernikahan baru di hadapan pihak yang terkait dan dilakukan akan nikah setelah keduanya bersedia dan rela. Seandainya tidak bisa menghadirkan wali, maka harus menggunakan wali hakim yang diberi wewenang untuk menikahkan.

Tentang yang telah terjadi masa lalu semuanya tidak dianggap dosa dan kesalahan, dan kedudukan anak-anaknya sah menurut syari’at dan nasabnya tetap dinisbatkan kepada bapak mereka, dengan syarat jika selama ini keduanya meyakini bahwa pernikahan tersebut sah, sebab hal ini termasuk senggama syubhat. Mengenai shalatnya, sang isteri harus secepatnya belajar membaca Al-Fatihah dan dzikir-dzikir yang wajib dibaca dalam shalat

[Fatawa wa Rasa’il Syaikh Muhammad bin Ibrahim, juz 10/90]

WANITA MENIKAH TANPA SEIZIN WALINYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Apakah boleh seorang gadis menikah tanpa izin walinya? Dan apa hukumnya surat menyurat atau berbicara lewat telpon antara remaja laki-laki dn perempuan dalam rangka berteman?

Jawaban
Tidak boleh seorang gadis menikah tanpa wali atau izin bapaknya sebab ia adalah walinya yang merupakan orang yang paling tahu tentang kemaslahatan anaknya. Tetapi sebaliknya wali tidak boleh menghalangi anaknya untuk menikah dengan laki-laki yang sebanding juga shalih.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jika datang kepadamu seseorang baik agama dan amanahnya yang (meminang anakmu), maka kawinkanlah, jika tidak engkau (nikahkan) pasti akan terjadi fitnah dan bencana besar di muka bumi”

Tidak etis apabila seorang gadis bersikeras mau menikah dengan laki-laki yang tidak disukai ayahnya sebab bisa jadi apa yang dilakukan bapaknya lebih baik, sementara ia tidak tahu karena kurang berpengalaman. Allah berfirman.

“Artinya : Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu” [Al-Baqarah : 216]

Dan si gadis itu harus berdoa kepada Allah agar diberi jodoh orang yang shalih.

Tentang masalah surat-menyurat atau berbicara lewat telpon itu tidak boleh karena sangat banyak dampak negatifnya dan menghilangkan rasa malu dari wanita tersebut.

[Kitabul Muntaqa min Fatawa Syaikh Fauzan, juz 3 hal. 237-238]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsudin Lc, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1158/slash/0/wanita-tidak-boleh-menikahkan-diri-sendiri-wanita-menikah-tanpa-seizin-walinya/

Menjalin Hubungan Sebelum Menikah, Obrolan Wanita Via Telepon


MENJALIN HUBUNGAN SEBELUM MENIKAH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pandangan agama tentang menjalin hubungan sebelum menikah?

Jawaban
Jika yang dimaksud dengan sebelum menikah adalah sebelum bercampur dan setelah akad, maka hal itu tidak apa-apa, karena dengan akad nikah itu berarti ia telah menjadi isterinya walaupun belum melakukan hubungan badan. Tapi jika itu sebelum akad nikah, pada masa lamaran atau sebelum lamaran, maka hal itu haram dan tidak boleh dilakukan. Seorang laki-laki tidak boleh bersenang-senang dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, baik itu dengan obrolan, pandangan atau bersepi-sepian berdua.

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.

لا يخلون رجل بامرأة ألا ومعها ذو محرم ولا تسافر المرأة ألا مع ذي محرم

“Tidaklah seorang laki-laki bersepi-sepian dengan seorang wanita kecuali bersamanya ada mahramnya. Dan tidaklah seorang wanita menempuh perjalanan jauh (bersafar) kecuali bersama mahramnya” [HR Al-Bukhari dalam Al-Jihad (3006), Muslim dalam Al-Hajj (1341)]

Kesimpulannya, jika pertemuan itu setelah akad nikah maka hal itu tidak apa-apa, tapi jika itu sebelum akad, walaupun setelah lamaran dan lamarannya diterima, hal itu tidak boleh dan haram, karena wanita itu masih belum halal baginya sampai terlaksananya akad nikah.

[Fatawa Al-Mar’ah, Syaikh Ibnu Utsaimin, hal.51]

HUKUM SURAT MENYURAT

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin.


Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Jika seorang laki-laki dan seorang wanita saling berkirim surat lalu mereka saling mencintai, apakah ini dianggap haram?

Jawaban
Perbuatan ini tidak boleh dilakukan karena bisa menimbulkan syahwat antara keduanya dan membangkitkan ambisi untuk saling bertemu dan berjumpa. Banyak terjadi fitnah akibat surat menyurat seperti itu dan menanamkan kesukaan berzina di dalam hati, hal ini bisa menjerumuskan ke dalam perbuatan keji atau menyebabkan terjerumus. Maka kami nasehatkan, barangsiapa yang menginginkan kemaslahatan dirinya dan melindunginya hendaklah tidak melakukan surat menyurat, obrolan atau lainnya yang sejenis, demi memelihara agama dan kehormatan. Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjnuk.

[Fatawa Al-Mar’ah, Syaikh Ibnu Jibrin, hal.58]

OBROLAN WANITA VIA TELEPON

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin.


Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Bagaimana hukumnya seorang pemuda yang belum menikah berbicara dengan seorang pemudi yang belum menikah di telepon?

Jawaban
Laki-laki tidak boleh berbicara dengan wanita yang bukan mahramnya mengenai hal-hal atau dengan nada yang bisa membangkitkan syahwat, seperti bersajak, bersya’ir dan lemah lembut dalam berbicara, baik itu melalui telepon ataupun lainnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا .لأحزاب: ٣٢

“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik” [Al-Ahzab : 32]

Adapun pembicaraan yang memang diperlukan, itu tidak apa-apa jika memang terbebas dari kerusakan, dan dalam kondisi terpaksa.

[Fatawa Al-Mar’ah, Syaikh Ibnu Jibrin, hal.60]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini 2, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini Lc, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1199/slash/0/menjalin-hubungan-sebelum-menikah-obrolan-wanita-via-telepon/

Wanita Muslimah Menikah Dengan Laki-Laki Non Muslim


WANITA MUSLIMAH MENIKAH DENGAN LAKI-LAKI NON MUSLIM


Oleh
Syaikh Muhammad bin Ibrahim



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya : "Bagaimana hukumnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim?"

Jawaban.
Pernikahan tersebut batil karena bertentangan dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadits serta ijma' para ulama.

Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke Neraka, sedang Allah mengajak ke Surgadan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". [Al-Baqarah : 221]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka" [Al-Mumtahanah : 10]


Sebab pernikahan semacam itu hanya akan merusak aqidah dan agama wanita
muslimah. Oleh sebab itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam ayat di atas " Mereka mengajak ke Neraka". Artinya secara umum tindakan orang-orang musyrik baik segi ucapan atau perbuatan mereka selalu mengajak ke neraka. Lewat hubungan pernikahan seseorang sangat mudah mempengaruhi orang lain. Apalagi sang suami pada umumnya menghendaki dan berusaha agar sang istri mengikuti agama yang dia yakini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka" [Al-Baqarah : 120]

Laki-laki non muslim bukan pasangan yang sesuai bagi wanita muslimah sebab dalam timbangan hukum Islam hak suami menuntut adanya kelebihan dari hak istri. Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)" [An-Nisa':34]

Hak-hak yang ada dalam ayat ini tidak akan tercapai apabila rumah tangga terdiri dari suami kafir dan istri seorang wanita muslimah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman" [An-Nisa : 141]

Secara naluri zhahir maupun batin seorang istri lebih lemah dibanding suami, padahal Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Islam itu tinggi tidak bisa diungguli agama apapun". Siapa saja yang melakukan pernikahan tersebut harus dikenakan sanksi tegas sesuai dengan hukum Islam. Barangsiapa yang melegalkan dan menganggap halal atas pernikahan tersebut, maka telah keluar dari agama Islam. Akan tetapi apabila seseorang melakukan pernikahan tersebut hanya ikut-ikutan dan tidak menganggap halal, maka dia telah berbuat dosa besar dan kejahatan yang sangat keji tetapi tidak keluar dari agama Islam. Dan wanita yang melakukan perbuatan tersebut harus dikenakan sanksi berupa rajam bagi wanita janda dan didera seratus kali dan dibuang selama setahun bagi wanita gadis. Tetapi bila seorang wanita melakukan perbuatan tersebut atas dasar ketidaktahuan, maka sanksi dan hukuman tersebut menjadi gugur sebab terdapat subhat di dalamnya.

Pernikahan yang terlaksana wajib segera dibatalkan dan laki-laki non muslim tersebut harus juga dikenakan sanksi sesuai dengan yang berlaku. Bagi pihak yang berwenang harus jeli dalam melihat kemaslahatan hukum syar'i dan tegas dalam menangani kasus seperti ini. Jika secara hukum agama dan maslahat umum seorang non muslim tersebut harus dibunuh, maka langkah tersebut harus dipenuhi.

[Fatawa wa Rasaail Syaikh Muhammad bin Ibrahim, juz 10/136-138]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]

Berpoligami Bagi Orang Yang Mempunyai Tanggungan Anak-Anak Yatim


BERPOLIGAMI BAGI ORANG YANG MEMPUNYAI TANGGUNGAN ANAK-ANAK YATIM


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada sebagian orang yang berkata, sesungguhnya menikah lebih dari satu itu tidak dibenarkan kecuali bagi laki-laki yang mempunyai tanggungan anak-anak yatim dan ia takut tidak dapat berlaku adil, maka ia menikah dengan ibunya atau dengan salah satu putrinya (perempuan yatim). Mereka berdalil dengan firman Allah.

"Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat". [An-Nisa : 3]

Kami berharap syaikh menjelaskan yang sebenarnya mengenai masalah ini.

Jawaban.
Ini adalah pendapat yang bathil. Arti ayat suci di atas adalah bahwasanya jika seorang anak perempuan yatim berada di bawah asuhan seseorang dan ia merasa takut kalau tidak bisa memberikan mahar sepadan kepadanya, maka hendaklah mencari perempuan lain, sebab perempuan itu banyak dan Allah tidak mempersulit hal itu terhadapnya.

Ayat diatas memberikan arahan tentang boleh (disyari'atkan)nya menikahi dua, tiga atau empat istri, karena yang demikian itu lebih sempurna dalam menjaga kehormatan, memalingkan pandangan mata dan memelihara kesucian diri, dan karena merupakan pemeliharaan terhadap kehormatan kebanyak kaum wanita, perbuatan ikhsan kepada mereka dan pemberian nafkah kepada mereka.

Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya perempuan yang mempunyai separoh laki-laki (suami), sepertiganya atau seperempatnya itu lebih baik daripada tidak punya suami sama sekali. Namun dengan syarat adil dan mampu untuk itu. Maka barangsiapa yang takut tidak dapat berlaku adil hendaknya cukup menikahi satu istri saja dengan boleh mempergauli budak-budak perempuan yang dimilikinya. Hal ini ditegaskan oleh praktek yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimana saat beliau wafat meninggalkan sembilan orang istri. Dan Allah telah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya telah ada bagi kamu pada Rasulullah suri teladan yang baik". [Al-Ahzab : 21]

Hanya saja Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada ummat Islam (dalam hal ini adalah kaum laki-laki, pent) bahwa tidak seorangpun boleh menikah lebih dari empat istri. Jadi, meneladani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menikah adalah menikah dengan empat istri atau kurang, sedangkan selebihnya itu merupakan hukum khusus bagi beliau.

[Fatwa Ibnu Baz, di dalam Majalah Al-Arabiyah, edisi 83]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Tidak Ada Kontradiksi Di Dalam Ayat Poligami


TIDAK ADA KONTRADIKSI DI DALAM AYAT POLIGAMI


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Di dalam Al-Qur'an ada satu ayat suci yang berbicara tentang poligami yang mengatkan.

"Artinya : Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja". [An-Nisa : 3]

Dan pada ayat yang lain Allah berfirman.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Pada ayat yang pertama tadi dinyatakan bahwa berpoligami itu dengan syarat adil, sedangkan pada ayat yang kedua dijelaskan bahwa adil yang menjadi syarat berpoligami itu tidak mungkin tercapai. Apakah ini berarti bahwa ayat yang pertama di-nasakh (dihapus hukumnya) dan tidak boleh menikah lebih dari satu, sebab syarat harus adil tidak mungkin tercapai ? Kami mohon penjelasannya, semoga Allah membalas kebaikan syaikh.

Jawaban.
Tidak ada kontradiksi antara dua ayat tadi dan juga tidak ada nasakh ayat yang satu dengan yang lain, karena sesungguhnya keadilan yang diperintahkan di dalam ayat itu adalah keadilan yang dapat dilakukan, yaitu adil dalam pembagian mu'asyarah dan memberikan nafkah. Adapun keadilan dalam hal mecintai, termasuk didalamnya masalah hubungan badan (jima') adalah keadilan yang tidak mungkin. Itulah yang dimaksud dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian". [An-Nisa ; 129]

Oleh karena itulah ada hadits Nabi yang bersumber dari riwayat Aisyah Radhiyallahu anha. Beliau berkata.

"Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan pembagian (di antara istri-istrinya) dan beliau berlaku adil, dan beliau berdo'a : 'Ya Allah inilah pembagianku menurut kemampuanku, maka janganlah Engkau mencercaku di dalam hal yang mampu Engkau lakukan dan aku tidak mampu melakukannya".[Diriwayatkan oleh Abu Daud, At-Timidzi, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

[Fatawal Mar'ah, hal.62 oleh Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1379/slash/0/tidak-ada-kontradiksi-di-dalam-ayat-poligami/

Hukum Menyandingkan Kedua Mempelai Di Hadapan Kaum Perempuan


HUKUM MENYANDINGKAN KEDUA MEMPELAI DI HADAPAN KAUM PEREMPUAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz





Di antara perkara munkar yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman sekarang ini adalah meletakkan tempat duduk bagi kedua mempelai di hadapan para tamu wanita, dimana mempelai laki-laki duduk di situ di hadapan kaum wanita yang tidak memakai jilbab dan bertabarruj (berdandan), bahkan boleh jadi ada di antara keluarga mempelai laki-laki turut hadir bersamanya atau laki-laki dari kerabat dekat mempelai perempuan.

Tidak diragukan lagi bagi orang-orang yang masih mempunyai fitrah suci dan ghirah (kecemburuan) agama bahwa perbuatan seperti itu banyak mengandung kerusakan besar, laki-laki asing mempunyai peluang besar untuk melihat perempuan-perempuan mutabarrijat (dengan dandanan dan perhiasan yang dapat mengundang fitnah dan maksiat, pent) dan akibat buruk yang akan timbul darinya. Maka wajib dicegah dan dihapuskan sama sekali karena pertimbangan banyak fitnahnya dan demi memelihara komunitas masyarakat wanita dari hal-hal yang menyalahi syari’at Islam yang suci.

Dan saya nasehatkan kepada seluruh kaum muslimin di negeri ini khususnya dan di negeri-negeri lain agar selalu takut dan bertaqwa kepada Allah, berpegang teguh kepada syari’at Islam dalam segala sesuatu dan menghindari segala yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka serta menjauhkan diri dari segala sebab keburukan dan kehancuran dalam melaksanakan pesta pernikahan dan masalah-masalah lainnya dengan mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agar terhindari dari segala sesuatu yang dapat mengundang murka dan siksaan-Nya.

Hanya kepada Allah jualah saya memohon, semoga Dia karuniakan kepada kita dan kepada segenap kaum muslimin kepatuhan kepada Kitab Suci Al-Qur’an dan bepegang teguh kepada sunnah Nabi-Nya, semoga menyelamatakan kita dari bahaya sesat, fitnah dan kepatuhan kepada kehendak nafsu, dan semoga Dia menampakkan kepada kita yang haq itu adalah haq dan mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk bisa mengamalkannya dan menampakkan yang batil itu adalah batil dan mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk bisa menghidarinya.

Sesungguhnya Dialah sebaik-baik tempat kita memohon.

Shalawat dan salam semoga dicurahkan kepada Nabi kita, Muhammad, keuarga dan segenap sahabatnya.

[Fatawa Nisa’iyah, hal. 44-45]

HUKUM KEDUA MEMPELAI BERSANDING DI HADAPAN KAUM WANITA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya ; Apa hukumnya tentang yang dilakukan oleh sebagian orang yang di saat pesta pernikahan dimana mereka menyandingkan kedua mempelai di depan kaum wanita dan mendudukannya di kursi pengantin, pengantin pria dapat melihat para tamu wanita dan mereka pun melihatnya. Kami mengharapkan jawabannya disertai dalil. Jazakumullahu khairan.

Jawaban
Perbuatan seperti itu haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan, karena bersandingnya kedua mempelai di hadapan kaum wanita pada acara tersebut, tidak diragukan lagi, dapat menimbulkan fitnah (maksiat) dan membangkitkan gairah syahwat, bahkan bisa berbahaya terhadap istri (mempelai wanita), karena bisa saja sang suami melihat perempuan yang ada di hadapannya yang lebih cantik daripada istrinya dan lebih bagus posturnya, hingga ia kurang tertarik kepada istri yang ada di hadapannya dimana ia mengira (sebelumnya) bahwa istrinya adalah wanita yang paling cantik dan bagus.

Maka wajib hukumnya menghindari perbuatan seperti itu, pengantin perempuan tetap berada di tempat di mana hanya suaminya yang menjumpainya, dan tidak mengapa keluarga suami turut menjumpainya bersamanya jika mereka hendak mengucapkan selamat dan do’a restu untuk mereka berdua, namun suami tidak duduk berdampingan dengan istrinya, ngobrol atau melakukan apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang awam, seperti memberinya permen atau lainnya. Semua kebiasaan buruk seperti itu bukanlah kebiasaan kaum muslimin, melainkan kebiasaan dan adat yang diada-adakan yang dibawa oleh musuh-musuh Islam kepada kaum muslimin dan mereka pun mengikuti dan menirukannya.

[Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1394/slash/0/hukum-menyandingkan-kedua-mempelai-di-hadapan-kaum-perempuan/

Menikah Dengan Niat Talak


MENIKAH DENGAN NIAT TALAK


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada seorang lelaki yang ingin bepergian keluar negeri sebagai delegasi. Oleh karena itu ia ingin menyelamatkan dirinya (dari perbuatan haram) maka ia berniat akan menikah di luar negeri untuk masa waktu tertentu (dengan perempuan di negera yang ia tuju), kemudian ia akan menceraikannya tanpa ia memberitahukan terlebih dahulu kepada perempuan tersebut tentang rencana perceraiannya. Bagaimanakah hukumnya .?

Jawaban
Nikah dengan niat talak itu tidak akan lepad dari dua hal.

Pertama : Di dalam akan ada syarat bahwa ia akan menikahinya hanya untuk satu bulan, satu tahun atau hingga studinya selesai. Maka ini adalah nikah mut'ah da hukumnya haram.

Kedua : Nikah dengan niat talak namun tanpa ada syarat, maka hukumnya menurut madzhab yang masyhur dari Hanabilah adalah haram dan akadnya rusak (tidak sah), karena mereka mengatakan bahwa yang diniatkan itu sama dengan yang disyaratkan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya segala amal perbuatan itu (diterima atau tidak) sangat tergantung pada niatnya dan sesungguhnya bagi setiap orang itu adalah apa yang ia niatkan". [Muttafaq 'Alaih]

Dan jika seseorang menikahi seorang perempuan yang telah talak tiga dari suaminya (dengan niat) agar perempuan itu menjadi halal lagi bagi suami yang pertama, lalu suami yang kedua akan menceraikannya, maka nikahnya (suami yang kedua) tidak sah, sekalipun akadnya dilakukan tanpa syarat. Sebab, apa yang diniatkan itu sama dengan apa yang disyaratkan. Maka jika niat nikahnya adalah untuk menghalalkan suami yang pertamanya kembali kepada mantan istrinya, maka akadnya rusak, dan demikian pula niat nikah mut'ah merusak akad. Inilah pendapat ulama madzhab Hanbali,

Pendapat kedua di kalangan para ulama dalam masalah di atas adalah sah saja seseorang menikahi perempuan dengan niat akan menceraikannya apa ia kembali ke negaranya, seperti para mahasiswa yang pergi keluar negeri untuk belajar atau lainnya. Alasan mereka adalah bahwa si laki-laki itu tidak memberi syarat (di dalam akad), sedangkan perbedaan nikah seperti ini dengan nikah mut'ah adalah bahwa apabila batas waktu dalam nikah mut'ah itu habis maka perceraian dengan sendirinya terjadi, dikehendaki oleh suami maupun tidak ; berbeda halnya nikah dengan niat talak. Nikah dengan niat talak itu memungkinkan bagi suami menjadikan istrinya untuk selama-lamanya. Ini adalah salah satu dari dua pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut saya, ini shahih dan itu bukan mut'ah, sebab defenisi mut'ah tidak cocok untuk nikah dengan niat talak, akan tetapi hukumnya tetap haram karena merupakan penipuan terhadap istri dan keluarganya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkan perbuatan curang dan penipuan. Dan sekiranya si perempuan (istri) mengetahui bahwa si lelaki itu tidak ingin menikahinya kecuali untuk waktu tertentu saja, niscaya perempuan itu tidak mau menikah dengannya, demikian pula keluarganya.

Kalaulah ia tidak rela jika putrinya dinikahi oleh seorang dengan niat akan menceraikannya apabila kebutuhannya telah terpenuhi, maka bagaimana ia rela memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang ia sendiri tidak rela menerima perlakuan seperti itu. Perbuatan seperti ini sudah sangat bertentangan dengan iman, sebab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Tidak beriman seseorang diantara kamu, sebelum ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya". [Muttafaq 'alaih]

Sesungguhnya saya juga mendengar bahwa ada sebagian orang yang menjadikan pendapat yang rapuh diatas sebagai alasan untuk melakukan perbuatan yang tidak dapat diterima oleh siapapun. Mereka pergi ke luar negeri hanya untuk menikah, mereka tinggal bersama istri barunya yang ia nikahi dengan niat talak dalam batas waktu semau mereka, dan setelah puas mereka tinggalkan ! Ini juga sangat berbahaya di dalam masalah ini, maka dari itu menutup rapat-rapat pintunya adalah lebih baik, karena banyak mengandung unsur penipuan, kecurangan dan pelecehan, dan karena membukanya berarti membuka kesempatan kepada orang-orang awam nan jahil untuk melanggar batas-batas larangan Allah.

[Fatawa Mar'ah oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 48-49]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Jursiy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Berlebih-Lebihan Dalam Meminta Mahar


MAHAR BERLEBIH-LEBIHAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz




Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz ditanya : Saya melihat dan semua juga melihat bahwa kebanyakan orang saat ini berlebih-lebihan di dalam meminta mahar dan mereka menuntut uang yang sangat banyak (kepada calon suami) ketika akan mengawinkan putrinya, ditambah dengan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi. Apakah uang yang diambil dengan cara seperti itu halal ataukah haram hukumnya ?

Jawaban
Yang diajarkan adalah meringankan mahar dan menyederhanakannya serta tidak melakukan persaingan, sebagai pengamalan kita kepada banyak hadits yang berkaitan dengan masalah ini, untuk mempermudah pernikahan dan untuk menjaga kesucian kehormatan muda-mudi.

Para wali tidak boleh menetapkan syarat uang atau harta (kepada pihak lelaki) untuk diri mereka, sebab mereka tidak mempunyai hak dalam hal ini ; ini adalah hak perempuan (calon istri) semata, kecuali ayah. Ayah boleh meminta syarat kepada calon menantu sesuatu yang tidak merugikan putrinya dan tidak mengganggu pernikahannya. Jika ayah tidak meminta persyaratan seperti itu, maka itu lebih baik dan utama. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya". [An-Nur : 32]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu 'anhu.

"Artinya : Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah".[1]

Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menikahkan seorang shahabat dengan perempuan yang menyerahkan dirinya kepada beliau, ia bersabda.

"Artinya : Carilah sekalipun cincin yang terbuat dari besi". [Riwayat Bukhari]

Ketika shahabat itu tidak menemukannya, maka Rasulullah menikahkannya dengan mahar "mengajarkan beberapa surat Al-Qur'an kepada calon istri".

Mahar yang diberikan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada istri-istrinya pun hanya bernilai 500 Dirham, yang pada saat ini senilai 130 Real, sedangkan mahar putri-putri beliau hanya bernilai 400 Dirham. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tuladan yang baik".[Al-Ahzab : 21]

Manakala beban biaya pernikahan itu semakin sederhana dan mudah, maka semakin mudahlah penyelamatan terhadap kesucian kehormatan laki-laki dan wanita dan semakin berkurang pulalah perbuatan keji (zina) dan kemungkaran, dan jumlah ummat Islam makin bertambah banyak.

Semakin besar dan tinggi beban perkawinan dan semakin ketat perlombaan mempermahal mahar, maka semakin berkuranglah perkawinan, maka semakin menjamurlah perbuatan zina serta pemuda dan pemudi akan tetap membujang, kecuali orang dikehendaki Allah.

Maka nasehat saya kepada seluruh kaum Muslimin di mana saja mereka berada adalah agar mempermudah urusan nikah dan saling tolong menolong dalam hal itu. Hindari, dan hindarilah perilaku meununtut mahar yang mahal, hindari pula sikap memaksakan diri di dalam pesta pernikahan. Cukuplah dengan pesta yang dibenarkan syari'at yang tidak banyak membebani kedua mempelai.

Semoga Allah memerbaiki kondisi kaum muslimin semuanya dan memberi taufiq kepada mereka untuk tetap berpegang teguh kepada Sunnah di dalam segala hal.

[Kitabud Da'wah, Al-Fatawa hal 166-168 dari Fatwa Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Muthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan redaksi " Sebaik-baik nikah adalah yang paling mudah". Dan oleh Imam Muslim dengan lafazh yang serupa dan di shahihkan oleh Imam Hakim dengan lafaz tersebut diatas.

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1467/slash/0/berlebih-lebihan-dalam-meminta-mahar/

Siapakah Orang-Orang Yang Kufu’ (Sama Dan Sederajat) Itu?


SIAPAKAH ORANG-ORANG YANG KUFU' (SAMA DAN SEDERAJAT) ITU?


Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah



Allah Ta’ala berfirman.
"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari se-orang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara ka-mu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." [Al-Hujuraat : 13]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat mulia ini telah dijadikan dalil oleh beberapa ulama yang berpendapat bahwa kafa'ah (sama dan sederajat) di dalam nikah itu tidak dipersyaratkan dan tidak ada yang dipersyaratkan kecuali agama. Hal itu didasarkan pada firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian.’” [1]. Disampaikan secara ringkas.

Imam al-Bukhari rahimahullah telah membuat bab di dalam kitab Shahiihnya, bab Al-Akiiffaa’ fid Diin dan firman-Nya:

"Artinya : Dan Dia (pula) Yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan kerabat dan ada-lah Rabbmu Maha Kuasa." [Al-Furqaan : 54]

Abul Yaman memberitahu kami, ia berkata, Syu’aib membe-ritahu kami dari Az-Zuhri, dia berkata, ‘Urwah bin az-Zubair Radhiyallahu anhu memberitahu kami dari ‘Aisyah Radhyallahu anha bahwa Abu Hudzaifah bin ‘Utbah bin Rabi’ah bin ‘Abdi Syams -dan dia termasuk yang mati syahid di perang Badar ketika berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Salim sebagai anak angkat dan menikahkannya dengan anak perempuan saudaranya, yaitu Hindun binti Al-Walid bin ‘Utbah bin Rabi’ah dan Salim adalah mantan budak dari seorang wanita kaum Anshar sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid sebagai anak angkat. Dan orang yang mengangkat seorang anak pada masa Jahiliyyah, orang-orang memanggilnya dengan tambahan nama orang yang mengangkatnya dan diberikan warisan dari harta orang tua angkatnya, sehingga Allah menurunkan ayat:

“Artinya : Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan mantan-mantan budakmu.” [Al-Ahzaab : 5)]

Kemudian mereka menisbatkan kepada ayah-ayah mereka. Dan orang yang tidak mengetahui ayahnya, maka ia menisbatkan diri kepada mantan budak dan saudara seagama. Lalu Sahlah binti Suhail bin ‘Amr Al-Qurasyi Al-‘Amiri -ia adalah isteri Abu Hudzaifah- mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami pernah melihat Salim seorang anak sementara Allah telah menurunkan padanya apa yang telah engkau ketahui.” Lalu dia menyebutkan hadits.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Abu Hindun pernah membekam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di ubun-ubun, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Wahai Bani Bayadhah, nikahkanlah Abu Hindun dan nikah-kanlah ia kepada (keturunan) Bani Bayadhah…” [Hadits Riwayat. Abu Dawud dengan sanad yang hasan]

Al-Khaththabi di dalam kitab Ma’aalimus Sunan (XIII/177) mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat hujjah bagi Malik dan orang yang berpegang pada pendapatnya bahwa kafa-ah itu pada agama saja dan tidak yang lainnya. Abu Hindun adalah budak yang dimerdekakan Bani Bayadhah dan bukan dari kalangan mereka.”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling mulia?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling bertakwa di antara mereka.’” [Muttafaq ‘alaih]

Dari Sahal bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Ada seseorang berjalan melewati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bertanya kepada seseorang yang duduk di sisinya, ‘Bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?’ Dia menjawab, ‘Dia dari kalangan orang-orang terhormat (kaya). Orang ini, demi Allah, sangat pantas jika dia melamar, maka tidak akan ditolak dan jika minta syafa’at, maka akan diberi.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam. Kemudian ada orang lain lagi yang lewat, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, ‘Lalu bagaimana pendapatmu mengenai orang ini?’ Dia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, orang ini adalah termasuk golongan kaum muslimin yang fakir. Orang ini jika melamar, maka tidak akan diterima dan jika (ingin) menjadi suami, maka tidak akan diberi serta jika berbicara, maka tidak di-dengarkan ucapannya.’ Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada seisi bumi seperti orang itu (yang kaya).’” [Hadits Riwyat Al-Bukhari]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
__________
Foote Note
[1]. Tafsir Ibnu Katsir (IV/230)

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1487/slash/0/siapakah-orang-orang-yang-kufu-sama-dan-sederajat-itu/

Nasehat Bagi Wanita Yang Terlambat Nikah, Membatalkan Khitbah/Lamaran, Biaya Walimah


NASEHAT BAGI WANITA YANG TERLAMBAT NIKAH


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Saya ingin meminta saran kepada syaikh bahwa saya dan teman-teman senasib telah ditakdirkan untuk tidak merasakan nikmatnya nikah, sementara umur hampir menginjak masa putus harapan untuk menikah. Padahal Alhamdulillah saya dan teman-teman senasib memiliki akhlak yang cukup dan berpendidikan sarjana dan inilah nasib kita Alhamdulillah. Yang membuat kaum lelaki tidak mau melamar kita disebabkan kondisi ekonomi yang kurang mendukung karena pernikahan di daerah kami dibiayai oleh kedua mempelai. Saya memohon nasehat syaikh untuk kami ?"

Jawaban.
Nasehat saya untuk yang terlambat menikah hendaknya selalu berdo'a kepada Allah dengan penuh harapan dan keikhlasan, dan mempersiapkan diri untuk siap menerima lelaki yang shalih. Apabila seseorang jujur dan sungguh-sungguh dalam do'anya, disertai dengan adab do'a dan meninggalkan semua penghalang do'a, maka do'a tersebut akan terkabulkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu" [Al-Baqarah : 186]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Dan Tuhanmu berfirman, 'Berdoalah kepadaKu, niscaya Kuperkenankan bagimu" [Al-Mukmin : 60]

Dalam ayat tersebut Allah menggantugkan terkabulnya do'a hambaNya setelah dia memenuhi panggilan dan perintahNya. Saya melihat, tidak ada sesuatu yang lebih baik kecuali berdoa dan memohon kepada Allah serta menunggu pertolongan dariNya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Ketahuilah sesungguhnya pertolongan diperoleh bersama kesabaran dan kemudahan selalu disertai kesulitan dan bersama kesulitan ada kemudahan"

Saya memohon kepada Allah untuk kalian dan yang lainnya agar dimudahkan oleh Allah dalam seluruh urusannya dan semoga segera mempertemukan kalian dengan laki-laki yang shalih yang hanya menikah untuk kebaikan dunia dan akhirat.

[Fatawa Mar'ah, hal. 58]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penerjemah Amir Hamzah Fakhruddin, Penerbit Darul Haq]



MEMBATALKAN KHITBAH/LAMARAN

Syaikh Abdullah al-Bassam mengatakan, “Tidaklah makruh hukumnya bagi wali calon pengantin perempuan dan calon pengantin perempuan untuk membatalkan lamaran atau khitbah jika beralasan dengan alasan yang bisa diterima karena akad nikah adalah akad yang jika salah langkah bisa menyebabkan penderitaan berkepanjangan, sehingga boleh bagi calon pengantin perempuan untuk bertindak hati-hati dalam melangkah. Sementara itu membatalkan lamaran tanpa alasan yang jelas hukumnya makruh baik dilakukan oleh pihak pengantin laki-laki maupun pihak pengantin perempuan. Hal ini hukumnya makruh karena hakikat pembatalan lamaran adalah menyelisihi janji menikahi atau janji mau dinikahi. Namun, hukumnya tidak sampai derajat haram karena masing-masing pihak belumlah terikat dengan akad pernikahan.[1]


YANG MENANGGUNG BIAYA WALIMAH

Syaikh Abdullah al-Bassam mengatakan, “Yang mengadakan walimah pernikahan adalah pihak pengantin laki-laki. Walimah pernikahan yang diadakan.[2]

Pada halaman 484, ketika menjelaskan hadits di Bulughul Maram no. 909, Syaikh Abdullah al-Bassam menjelaskan, “Biaya walimah pernikahan itu tanggungan pengantin laki-laki, bukan tanggungan pengantin perempuan dan keluarganya. Pengantin laki-laki dan pengantin perempuan adalah pemilik acara penikahan dan suami adalah pihak yang wajib menafkahi, sehingga biaya walimah pernikahan adalah tanggungan suami. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada suami, ‘Adakan walimah meski hanya dengan seekor kambing’. Jadi , suami atau pengantin laki-lakilah yang diperintah untuk mengadakan walimah pernikahan”.

[Dikutip dari 7 Faedah Seputar Pernikahan, penulis Ustadz Aris Munandar. Majalah Al-Furqon, Edisi 7 Tahun Kesebelas, Shafar 1433, hal. 26. Alamat Ma’had al-Furqon, Srowo – Sidayu Gresik Jatim 61153]
_______
Footnote
[1]. Taudhih al Ahkam min Bulughul Maram juz 5 halaman 281-282 penjelasan hadits Bulughul Maram no. 844, terbitan Dar al-Mainan, Riyadh, cet. Kedua , 1430H
[2]. Taudhih al Ahkam min Bulughul Maram juz 5 halaman 472 penjelasan hadits Bulughul Maram no. 903, terbitan Dar al-Mainan, Riyadh, cet. Kedua , 1430H

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1510/slash/0/nasehat-bagi-wanita-yang-terlambat-nikah-membatalkan-khitbahlamaran-biaya-walimah/

Tabdzir Dan Berlebih-Lebihan Dalam Pesta Pernikahan


TABDZIR DAN BERLEBIH-LEBIHAN DALAM PESTA PERNIKAHAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz




Kewajiban Mensyukuri Segala Kenikmatan Dan Tidak Menggunakannya Bukan Pada Tempatnya.

Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam semoga Allah mencurahkan kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amma ba'du.

Adakalanya Allah Subhanahu wa Ta'ala menguji hambaNya dengan kefakiran dan kemiskinan, sebagaimana terjadi pada penduduk negeri ini (Saudi Arabia) pada awal abad 14 Hijriah. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman.

"Artinya : Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan 'Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepadaNya lah kami kembali". [Al-Baqarah : 155-156]

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan cobaanNya berupa kenikmatan dan kelapangan rizki, sebagaimana realita kita saat ini, untuk menguji iman dan kesyukuran mereka. Dia berfirman sebagai berikut.

"Artinya : Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah cobaan. Dan Allah di sisiNya ada pahala yang sangat besar". [A-Taghabun : 15]

Kesudahan yang terpuji di dalam semua cobaan itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang amal perbuatan mereka sejalan dengan apa yang disyari'atkan Allah, seperti sabar dan hanya mengharap pahala di dalam kondisi fakir, bersyukur kepada Allah atas segala karuniaNya dan menggunakan harta pada penggunaan yang tepat di waktu kaya dan sederhana di dalam membelanjakan harta kekayaan pada tempatnya, baik untuk keperluan makan dan minum, dengan tidak pelit terhadap diri dan keluarga, dan tidak pula israf (berlebih-lebihan) di dalam menghabiskan harta kekayaan pada sesuatu yang tidak ada perlunya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang sikap buruk tersebut, seraya berfirman.

"Artinya : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (israf) karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal". [Al-Isra : 29]

Dan firmanNya.

"Artinya : Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka (yang dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan". [An-Nisa : 5]

Pada ayat di atas Allah melarang menyerahkan harta kekayaan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, sebab mereka akan membelanjakannya bukan pada tempatnya. Maka hal itu berarti bahwa membelanjakan harta kekayaan bukan pada tempatnya (yang syar'i) adalah merupakan perkara yang dilarang.

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman.

"Artinya : Hai anak Adam (manusia), pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan".[Al-A'raf : 31]

"Artinya : Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syetan".[Al-Isra : 26-27]

Israf adalah membelanjakan harta kekayaan melebihi kebutuhan yang semestinya. Sedangkan tabdzir adalah membelanjakannya bukan pada tempat yang layak.

Sungguh, banyak sekali manusia saat ini yang diberi cobaan, yaitu berlebih-lebihan di dalam hal makanan dan minuman, terutama ketika mengadakan pesat-pesta dan resepsi pernikahan, mereka tidak puas dengan sekedar kebutuhan yang diperlukan, bahkan banyak sekali diantara mereka yang membuang makanan yang tersisa dari makanan yang telah dimakan orang lain, dibuang di dalam tong sampah dan di jalan-jalan. Ini merupakan kufur nikmat dan merupakan faktor penyebab hilangnya kenikmatan.

Orang yang berakal adalah orang yang mampu menimbang semua perkara dengan timbangan kebutuhan, maka apabila ada sedikit kelebihan makanan dari yang dibutuhkan, ia segera mencari orang yang membutuhkannya, dan jika ia tidak mendapatkannya, maka ia tempatkan sisa tersebut jauh dari tempat yang menghinakan, agar dimakan oleh binatang melata atau siapa saja yang Allah kehendaki, dan supaya terhindar dari penghinaan. Maka wajib atas setiap muslim berupaya semaksimal mungkin menghindari larangan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjadi orang yang bijak di dalam segala tindakannya seraya mengharap keridhaan Allah, mensyukuri karuniaNya, agar tidak meremehkan atau menggunakannya bukan pada tempat yang tepat.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni'mat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih".[Ibrahim : 7]

"Artinya : Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu mengingkari (ni'mat)-Ku". [Al-Baqarah : 152]

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menginformasikan bahwa bersyukur (terima kasih) itu haruslah dengan amal, tidak hanya sekedar dengan lisan. Dia berfirman.

"Artinya : Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur". [Saba : 13]

Jadi bersyukur kepada Allah itu dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan. Barangsiapa yang bersyukur kepadaNya dalam bentuk ucapan dan amal perbuatan, niscaya Allah tambahkan kepadanya sebagian dari karuniaNya dan memberinya kesudahan (nasib) yang baik, dan barangsiapa yang mengingkari ni'mat Allah dan tidak menggunakannya pada yang benar, maka ia berada dalam posisi bahaya yang sangat besar, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengancamnya dengan adzab yang sangat pedih.

Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum muslimin dan membimbing kita serta mereka untuk bisa bersyukur kepadaNya dan mempergunakan semua karunia dan ni'matNya untuk ketaatan kepadaNya dan kebaikan bagi hamba-hambaNya. Hanya Dialah yang Maha Kuasa melakukan itu semua. Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para shabatnya.

[Ibnu Baz, Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah jilid 4, hal. 37]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1693/slash/0/tabdzir-dan-berlebih-lebihan-dalam-pesta-pernikahan/

Wanita-Wanita Yang Dilarang Dinikahi


WANITA-WANITA YANG DILARANG DINIKAHI


Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam



Wanita-wanita yang dilarang dinikahi ada dua macam : Wanita yang dilarang dinikahi selama-lamanya, dan wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu. Kelompok yang pertama ada tujuh orang karena hubungan nasab, yaitu:

[1]. Ibu dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak wanita dan seterusnya ke jalur bawah
[3]. Saudara wanita seayah seibu atau seibu atau seayah
[4]. Anak wanita istri (anak tiri)
[5]. Anak wanita saudara
[6]. Bibi dari garis ayah
[7]. Bibi dari garis ibu

Dalam pengharaman mereka, adalah firman Allah.

"Artinya : Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian".. Dan seterusnya [An-Nisa : 23]

Diharamkan pula yang seperti kedudukan mereka ini karena hubungan penyusuan, yang didasarkan kepada sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, "Diharamkan karena penyusuan seperti yang diharamkan karena nasab".

Adapun wanita yang haram dinikahi karena hubungan perbesanan adalah.

[1]. Ibu istri dan seterusnya ke jalur atas
[2]. Anak-anak wanita mereka dan seterusnya ke jalur bawah jika istri sudah disetubuhi.
[3]. Istri-istri bapak, kakak dan seterusnya ke jalaur atas
[4]. Istri-istri anak laki-laki dan seterusnya ke jalur bawah

Diharamkan pula yang seperti mereka karena penyusuan. Dalilnya adalah firman Allah : "Ibu istri-istri kalian".[An-Nisa : 23]

Adapun wanita-wanita yang dilarang dinikahi hingga waktu tertentu, yaitu saudara wanita istri, bibinya dari garis ayah dan ibu, istri kelima laki-laki merdeka yang sudah memiliki empat istri, wanita pezina yang sudah bertaubat, wanita yang sudah ditalak tingga hingga dia menikah dengan laki-laki lain, wanita ihram hingga dia menyelesaikan ihramnya, wanita pada masa iddah hingga habis masa iddahnya.

Selain yang disebutkan ini halal dinikahi, sebagaimana firman Allah ketika menyebutkan wanita-wanita yang tidak boleh dinikahi.

"Artinya : Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian".[An-Nisa : 24]

Dalam dua hadits berikut dalam bab ini disebutkan isyarat sebagian yang disampaikan diatas.

"Artinya : Dari ummu Habibah binti Abu Sufyan Radhiyallahu anhuma bahwa dia berkata, "Wahai Rasulullah, nikahilah saudaraku wanita, putri Abu Sufyan". Beliau bertanya : "Apakah engkau menyukai hal itu?" Dia menjawab, "Ya. Aku tidak merasa keberatan terhadap engkau dan aku menyukai orang-orang yang bersekutu denganku dalam kebaikan, yaitu saudariku sendiri". Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sesungguhnya yang demikian itu tidak diperbolehkan bagiku". Ummu Habibah berkata, "Kami mendengar bahwa engkau hendak menikahi puteri Abu Salamah". Beliau betanya, "Putri Abu Salamah?" Aku berkata, "Ya". Beliau bersabda, "Sekiranya dia bukan anak tiriku yang kubesarkan di dalam rumahku, dia tetap saja tidak halal bagiku. Dia juga putri saudara sesusuanku karena aku dan Abu Salamah sama-sama menyusu kepada Tsuwaibah. Karena itu janganlah engkau menawarkan lagi kepadaku putri-putri kalian dan tidak pula saudara-saudara wanita kalian".
Urwah berkata, "Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Dulu Abu Lahab memerdekakan dirinya, lalu dia menyusui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Ketika Abu Lahab hendak meninggal, sebagian keluarganya melihatnya dalam kondisi yang lemah. Dia bertanya, "Apa yang engkau temukan ?" Abu Lahab menjawab, "Aku tidak menemukan kebaikan sesudah kalian. Hanya saja aku pernah disusui budak yang kumerdekakan ini, yaitu Tsuwaibah".

MAKNA SECARA UMUM
Ummu Habibah binti Abu Sufyan adalah salah seorang Ummahatul Mukminin Radhiyallahu anhuma. Dia mendapatkan kedudukan yang terpandang dan merasakan kebahagiaan atas pernikahannya dengan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Sudah sepantasnya dia merasakan hal itu. Lalu dia meminta agar beliau menikahi saudarinya.

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam merasa ta'ajub, karena bagaimana mungkin dia mentolerir suaminya menikah lagi dengan wanita lain yang akan menjadi madunya, karena wanita memiliki kecemburuan yang besar dalam hal ini. Maka beliau bertanya dengan rasa heran, "Apakah engkau menyukai hal itu?"

Dia menjawab, "Ya, aku menyukainya". Kemudian dia menjelaskan sebab kesukaannya sekiranya beliau mau menikahi saudarinya, bahwa harus ada wanita lain yang bersekutu dengannya dalam kebaikan dan dia tidak ingin kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Maka apa salahnya jika yang bersekutu dalam kebaikan ini adalah saudarinya sendiri.

Seakan-akan dia tidak mengetahui pengharaman menikahi dua bersaudara. Karena itulah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberitahunya, bahwa saudarinya itu tidak boleh beliau nikahi. Lalu Ummu Habibah memberitahukan kepada beliau, bahwa dia mendengar kabar bahwa beliau akan menikahi putri Abu Salamah.

Lagi-lagi beliau bertanya, "Apakah yang engkau maksudkan putri Ummu Salamah?"

Ummu Habibah menjawab, "Ya".

Maka beliau menjelaskan kebohongan berita itu, "Sesungguhnya putri Ummu Salamah tidak halal bagiku karena dua sebab.

Pertama : Karena dia anak tiriku yang kuasuh di rumahku, karena dia putri istriku.
Kedua : Karena dia putri saudaraku dari sesusuan, karena aku dan ayahnya, Abu Salamah pernah menyusu kepada Tsuwaibah, yaitu mantan budak Abu Lahab. Berarti aku juga merupakan pamannya.

Karena itu janganlah engkau menawarkan putri-putri kalian dan saudari-saudari kalian kepadaku. Aku lebih tahu dan lebih berhak daripada kalian untuk mengatur urusanku semacam ini".

KESIMPULAN HADITS
[1]. Pengharaman menikahi saudari istri, dan hal itu tidak diperbolehkan
[2]. Pengharaman menikahi anak tiri, yaitu putri istri yang sudah dicampuri.
[3]. Penyebutan rumah ini, di sini bukan merupakan sasaran, tapi penyebutan maksud penghindaran.
[4]. Larangan menikahi putri saudara sesusuan, karena diharamkan dari sesusuan seperti yang diharamkan dari nasab
[5]. Seorang mufti harus menyampaikan rincian fatwa jika ditanya tentang suatu masalah yang hukumnya berbeda-beda, dengan perbedaan semua sisinya.
[6]. Mufti harus mengarahkan penanya dengan penjelasan apa yang harus dipaparkan dan yang dapat diterima, apalagi terhadap orang yang memang harus dia arahkan dan dia bimbing, seperti anak dan istri.
[7]. Menurut zhahirnya, Ummu Habibah memahami pembolehan saudari istri bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk kekhususan bagi beliau. Yang demikian itu karena tidak ada qiyas antara saudari istri dan anak tiri. Tapi ketika dia mendengar beliau akan menikahi anak tirinya, padahl hal itu diharamkan berdasarkan ayat yang mengharamkan penyatuan dua bersaudara, maka dia mengira adanya pengkhususan dari keumuman ini.

"Artinya : Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Tidak boleh menikahi wanita sekaligus bersama bibinya dari garis ayah dan tidak pula dari garis ibu".

MAKNA SECARA UMUM
Syariat yang suci ini datang dengan membawa sesuatu yang di dalamnya terkandung kebaikan dan kemaslahatan, memerangi segala sesuatu yang di dalamnya terkandung kerusakan dan mudharat. Di antaranya, ia menyuruh kepada cinta dan kasih sayang, melarang pemutusan hubungan, permusuhan dan kebencian

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mempebolehkan poligami karena kemaslahatan, ketika beberapa wanita berhimpun menjadi istri seorang lelaki, maka tidak jarang terjadi permusuhan dan kebencian di antara mereka, yang pangkalnya adalah kecemburuan. Karena itulah beliau melarang poligami di antara kerabat, khawatir akan terjadi permusuhan hubungan diantara kerabat.

Beliau melarang dua bersaudara dinikahi, begitu pula bibi dari pihak ayah dengan putri saudara laki-laki, putri saudara wanita dengan bibi dari pihak ibu dan lain-lainnya, yang sekiranya salah satu di antara keduanya diberi anak laki-laki dan yang lain wanita, maka diharamkan pernikahan dengannya menurut perhitungan nasab.

Hadits ini menjadi pengkhususan dari keumuman firman Allah, "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian". Kita sudah mendapatkan kejelasan hukum-hukumnya sehingga tidak perlu lagi rinciannya, karena toh maknanya sudah jelas dan tidak lagi umum.

FAIDAH HADITS
Menikahi wanita bersaudara, wanita dengan bibinya dari pihak ayah, wanita dengan bibinya dari pihak ibu, adalah diharamkan, yang menurut pernyataan Ibnul Mundzir, "Saya tidak melihat perbedaan pendapat hingga saat ini tentang masalah tersebut. Para ulama sudah menyepakatinya". Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm, Al-Qurthuby dan An-Nawawy menukil ijma' tentang masalah ini, menurut Ibnu Daqiq Al-Id, itulah yang disimpulkan dari As-Sunnah. Kalau pernyataan Al-Kitab menetapkan pembolehan, yang didasarkan kepada firman Allah. "Dan, dihalalkan bagi kalian selain yang demikian", hanya saja para imam di seluruh wilayah mengkhususkan keumuman dalam ayat di atas dengan hadits ini. Ini merupakan dalil diperbolehkannya mengkhususkan keumuman Al-Kitab dengan khabar ahad. Ini merupakan pendapat empat imam.

Menurut Ash-Shan'any, yang dimaksudkan khabar ahad di sini bukan pengabaran satu orang, tapi pengabaran selain mutawatir. Menurut Al-Hafizh Ibnu hajar menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan tiga belas sahabat. Ini merupakan bantahan terhadap orang-orang yang beranggapan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan Abu Hurairah.

Faidah lain, menikahi wanita Ahli Kitab diperbolehkan berdasarkan ayat Al-Maidah. Ini merupakan pendapat jumhur salaf dan khalaf, empat imam dan lain-lainnya. Boleh jadi ada yang berkata, Allah mensifati mereka (para Ahli Kitab) dengan syirik, dalam firmanNya, "Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan rahibnya sebagai tandingan selain Allah". Hal ini dapat dijawab sebagai berikut : Dalam dasar agama Ahli Kitab tidak ada syirik. Kalaupun mereka disifati dengan syirik, karena syirik yang mereka ciptakan. Dasar agama mereka adalah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan, yang membawa tauhid dan bukan syirik. Ini merupakan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.


[Disalin dari kitab Taisirul-Allam Syarh Umdatul Ahkam, Edisi Indonesia Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Pengarang Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Shalih Ali Bassam, Penerbit Darul Fallah]

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1741/slash/0/wanita-wanita-yang-dilarang-dinikahi/

Apakah Poligami Itu Dianjurkan ?


POLIGAMI


Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah



Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : … Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….” [An-Nisaa : 3]

Pertanyaan : Apakah poligami itu dianjurkan ?

Jawaban
Syaikh Mustafa Al-Adawi Hafizhahullah Ta’ala mengatakan : “Letak dianjurkannya poligami itu adalah jika seorang laki-laki mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

“Artinya : …Kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja….”

Dan jika dirinya merasa aman dari fitnah dari isteri-isterinya dan tidak akan menyia-nyiakan hak Allah atas dirinya karena mereka, serta bisa menyibukkan dalam beribadah kepada Rabb karena mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” [At-Taghabun : 14]

Selain itu, dia melihat adanya kemampuan untuk menjaga kesucian mereka serta memberikan perlindungan kepada mereka sehingga dia tidak akan memberikan kerusakan kepada mereka. Sebab, Allah tidak menyukai kerusakan.

Dan sesuai dengan kemampuannya dia harus memberikan nafkah kepada mereka. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya” [An-Nuur : 33] [1]

Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah pernah ditanya tentang hukum poligami, apakah sunnah ?

Dia menjawab, “Tidak sunnah, tetapi boleh”.

MEMBERI SETIAP ISTERI SEBUAH RUMAH SEBAGAI UPAYA MENGIKUTI NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Allah Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan hendaklah mereka tetap tinggal di rumahj mereka” [Al-Ahzab : 33]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)” [Al-Ahzaab : 34]

Dia juga berfirman.

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan” [Al-Ahzab : 53]

Dengan demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan bahwa sunnah Nabi itu ada beberapa buah dan bukan hanya satu saja.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta ketika sakit yang mengantar beliau wafat, “Di mana aku besok? Di mana aku besok?” Yang beliau maksudkan adalah hari (giliran) Aisyah. Lalu isteri-isteri beliau mengizinkan beliau untuk menetap di mana beliau kehendaki, sehingga beliau tinggal di rumah Aisyah sampai beliau wafat di sisinya. Aisyah berkata, “Maka beliau meninggal pada hari yang menjadi giliranku di rumahku. Lalu Allah mencabut nyawa beliau sementara kepala beliau bersandar di dadaku, sementara keringat beliau bercampur dengan keringatku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara Nabi tetap menahan piring yang pecah itu di rumah kejadian peristiwa piring pecah” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Ibnu Syaibah rahimahullah di dalam kitab Al-Mushannaf (IV/388) berkata, “Abad bin Al-Awam mengabarkan kepadaku dari Ghalib, dia berkata, “Aku pernah tanyakan kepada Hasan –atau ditanya- tentang seorang laki-laki yang mempunyai dua isteri di dalam satu rumah? Dia menjawab, Mereka (para Sahabat) memakruhkan al-wajs, yakni dia menggauli salah seorang dari keduanya sementara yang lainnya melihat”. Atsar ini shahih.

Di dalam kitab Al-Mughni (VII/26), Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Seorang laki-laki tidak boleh menghimpun dua isterinya di dalam satu tempat tinggal tanpa keridhaan keduanya, baik itu masih kecil maupun sudah tua, karena antara keduanya terdapat mudharat, dimana antara kedunaya ada permusuhan dan kecemburuan. Sementara penyatuan keduanya dapat menyulut pertengkaran dan peperangan. Dan masing-masing dari keduanya akan mendengar gerakannya jika dia menggauli isterinya yang lain atau bisa juga dia akan melihat hal tersebut. Dan jika keduanya sama-sama setuju dengan hal tersebut, maka hal itu dibolehkan, karena hak itu milik keduanya, sehingga keduanya diberi toleran untuk meninggalkannya.

Demikian juga jika keduanya rela suami mereka tidur di antara keduanya dalam satu selimut. Dan jika keduanya rela untuk suami mereka mencampuri salah seorang dari mereka dengan disaksikan oleh lainnya, maka yang demikian itu tidak diperbolehkan, karena hal tersebut mengandung kehinaan, kenistaan, dan jatuhnya kewibawaan sehingga hal tersebut tidak diperbolehkan meskipun keduanya membolehkan”.

Imam Al-Qurthubi (XIV/217) berkata, “Tidak diperkenankan mengumpulkan para isteri di satu rumah, kecuali jika mereka rela”.

Di dalam kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab dikatakan (XVI/415), “Jika seorang suami memiliki beberapa isteri yang tidak ditempatkan di dalam satu rumah, kecuali dengan kerelaan mereka atau salah seorang dari mereka, karena hal itu dapat menimbulkan pertengkaran di antara mereka. Dan tidak diperbolehkan baginya untuk mencampuri salah seorang dari mereka ketika yang lainnya tengah berada bersamanya karena yang demikiian itu adalah adab yang tidak baik lagi merusak hubungan”

Catatan.
Diantara bentuk kelaziman rumah yang mandiri bagi setiap isteri adalah tidak ada campur tangan dalam hal makanan di antara isteri-isteri. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh hadits terdahulu, “Lalu salah seorang Ummahatul Mukminin mengirimkan satu piring yang di dalamnya terdapat makanan”. Hadits ini menunjukkan bahwa makanan masing-masing isteri terlepas dari yang lainnya. Tetapi, jika mereka tengah berkumpul dalam suatu jamuan dengan keridhaan dari semua isteri, maka hal itu tidak ada masalah. Wallahu a’lam.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
_________
Foote Note
[1]. Fiqh Ta’addud Az-Zaujaat, hal. 5, Syaikh Musthafa Al-Adawi

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1990/slash/0/apakah-poligami-itu-dianjurkan/

Poligami : Menyelesaikan Perselisihan Antara Isteri-Isteri


MENYELESAIKAN PERSELISIHAN ANTARA ISTERI-ISTERI


Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyyah




Ummu Ruman –ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘anha- pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai puteriku, tolonglah aku dalam menuntunmu. Demi Allah, semakin seorang wanita merendah diri di sisi suami yang mencintainya sedang dia memiliki madu, melainkan dia akan banyak berpihak kepadanya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 4750 di dalam hadits Ifki (kisah kebohongan orang-orang munafik).

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha bahwasanya dia berkata, “Aku tidak cemburu kepada seorang pun dari isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kecemburuanku kepada Khadijah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebutnya (Khadijah) dengan menyampaikan berita kepadanya bahwa dia akan mendapatkan rumah di Surga dari emas dan perak” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Urwah bin Zubair, dia berkata, Aisyah Radhiyallahu ‘anha pernah berkata, “Pada suatu hari aku tidak mengetahui Zainab masuk menemuiku tanpa izin sedang dia dalam keadaan marah. Kemudian dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau sudah merasa cukup, jika datang kepadamu puteri Abu Bakar’. Kemudian dia mendatangiku, lalu aku berpaling darinya sehingga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belalah dirimu’. Lalu aku menghadap kepadanya sehingga aku melihatnya telah mengering keringatnya, di dalam mulutnya tidak terdapat sesuatu pun untuk menjawabku. Kemudian aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseri wajahnya” [Hadits Riwayat Ibnu Majah dengan sanad yang shahih] [1]

Dari Yahya bin Abdirrahman bin Hathib bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa khuzairah yang telah aku masak untuk beliau. Lalu kukatakan kepada Saudah –sedang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada diantara diriku dan dirinya-, ‘Makanlah’. Lalu dia menolak, maka aku katakan, Engkau makan atau aku akan lumurkan ke wajahmu’.

Tetapi, dia tetap menolak. Maka aku letakkan tanganku ke dalam khuzairah, lalu aku lumurkan ke wajahnya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa, lalu beliau meletakkan tangan beliau ke tangannya (Saudah) seraya berkata kepadanya. ‘Lumuri pula wajahnya’. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa untuknya.

Kemudian Umar lewat seraya berucap, ‘Wahai hamba Allah, wahai hamba Allah.’ Beliau mengira bahwa Umar akan masuk, maka beliau bersabda, ‘Bangun dan cucilah wajah kalian berdua’.

Maka Aisyah berkata, “Dan aku segan kepada Umar karena kewibawaan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam” [Hadits Riwayat Abu Ya’ala dengan sanad yang hasan]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Aku pernah katakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Cukuplah engkau begini dan begitu terhadap Shafiyah’. Ghairu Musaddad mengatakan, ‘Yang dimaksudkannya adalah mengurangi perhatian beliau, ‘Maka beliau bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya engkau telah mengatakan kalimat yang jika dicampur dengan air laut, niscaya ia akan bercampur dengannya…” [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih]

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi pernah berada di rumah salah seorang isterinya, lalu salah seorang Ummahatul Mukminin (isteri-isteri Nabi) mengirimkan satu piring berisi makanan. Kemudian wanita yang rumahnya ditempati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul tangan pelayan sehingga piring itu jatuh dan pecah. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring dan kemudian mengumpulkan kembali makanan tersebut ke dalamnya seraya berkata, ‘Ibumu telah cemburu’. Selanjutnya, pelayan itu ditahan sehingga dia diberi piring dari isteri yang rumahnya ditempati Nabi. Lalu pelayan itu menyerahkan piring yang baik kepada isteri yang dipecahkan piringnya. Sementara beliau tetap menahan piring yang pecah itu di rumah yang menjadi tempat pecahnya” [Hadits Riwayat Al-Bukhari]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Pada suatu malam aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga aku mengira beliau pergi mendatangi salah seorang isterinya yang lain. Lalu aku mencari tahu dan kemudian kembali lagi dan ternyata beliau tengah ruku’ atau sujud seraya berucap.

“Artinya : Mahasuci Allah dan segala puji bagi-Mu, tiada Ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Engkau’. Lalu aku katakan, ‘Demi ayah dan ibuku, sesungguhnya engkau berada dalam satu kesibukan, sementara aku dalam kesibukan yang lain” [Hadits Riwayat Muslim]

Peringatan.
Di antara manusia ada yang tergesa-gesa dan menceburkan diri dalam poligami tanpa mencermati dari keadaan dan tanpa pemikiran yang matang sehinga hanya akan menghancurkan kebahagiaan keluarga serta memecah belah kesatuan, hingga akhirnya menjadi seperti orang badui yang mengatakan.

“Aku menikahi dua orang wanita karena ketidaktahuanku yang parah
Terhadap kesengsaraan yang dialami oleh orang yang beristeri dua.

Lalu kukatakan, aku berjalan di antara keduanya bagaikan seekor kambing
Digembalakan diantara dua ekor kambing betina terhormat.

Sehingga aku menjadi seperti kambing yang pergi pagi dan sore hari
Yang berkeliling di antara dua ekor srigala jahat

Keridhaan yang ini akan memicu kemarahan yang lain
Sehingga aku tidak pernah selamat dari salah satu dari dua kemarahan

Dalam hidup ini aku singkirkan semua bahaya
Demikian juga dengan bahaya di antara dua madu

Untuk yang ini satu malam dan yang lainnya satu malam juga
Selalu ada celaan pada kedua malam tersebut

Oleh karena itu, jika Anda ingin tetap mulia
Dengan berbagai kebaikan yang ada di tangan

Maka hiduplah membujang, kalau memang tidak bisa
Maka hidup dengan satu isteri saja sudah cukup daripada mendapatkan keburukan dua isteri”

Apa yang diungkapkan oleh orang badui ini tidak mutlak benar, tetapi orang yang membebani dirinya dengan poligami sedang dia tidak mempunyai kemampuan untuk memberi nafakah, mendidik dan mengurus dengan baik, maka tidak mustahil dia akan terjerumus ke dalam apa yang dirasakan oleh si badui itu, berupa kejenuhan dan kepenatan hidup.

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
_________
Foote Note
[1]. Hadits ini terdapat dalam kitab Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fii Ash-Shahihain (II/462)

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1991/slash/0/poligami-menyelesaikan-perselisihan-antara-isteri-isteri/

Poligami : Tidak Ada Kewajiban Bagi Suami Untuk Menyamaratakan Dalam Hal Cinta Dan Hubungan Badan


TIDAK ADA KEWAJIBAN BAGI SEORANG SUAMI UNTUK MENYAMARATAKAN DALAM HAL CINTA DAN HUBUNGAN BADAN


Oleh
Ummu Salamah As-Salafiyah




Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata, Abdul Aziz bin Abdullah memberitahu kami, ia berkata, Sulaiman memberitahu kami, dari Yahya bin Ubaid bin Hunain, dia mendengar dari Ibnu Abbas dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Dia pernah masuk menemui Hafshah seraya berkata, ‘Wahai puteriku, janganlah engkau tertipu pada seorang wanita, yang mana Rasulullah dibuat kagum oleh kecantikannya –yang dia maksudkan adalah Aisyah-. Lalu aku menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun tersenyum”

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat sakit bertanya-tanya, ‘Dimana aku sekarang? Di mana aku besok?’ karena beliau merasa terlalu lama menunggu hari giliran Aisyah. Dan ketika hari giliranku itu tiba, Allah mewafatkan beliau dengan bersandar di dadaku dan dimakamkan di rumahku” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia meminta izin kepada beliau yang ketika itu tengah berbaring bersamaku di atas kainku. Lalu beliau memberikan izin kepadanya.
Maka Fathimah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu telah mengutusku kepadamu untuk meminta keadilan mengenai puteri Abu Quhafah (Aisyah), Dan aku pun diam”.

Aisyah berkata, “Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, ‘Wahai puteriku, bukankah engkau mencintai apa yang aku cintai?’.
Fathimah pun menjawab, ‘Ya’
Kalau begitu, maka cintailah wanita ini’, pinta Rasulullah”

Lebih lanjut, Aisyah berkata, “Lalu Fathimah berdiri ketika mendengar hal tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia kembali kepada isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu memberitahukan mereka apa yang telah dia katakan dan juga jawaban yang diberikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.’ Maka mereka berkata kepadanya, ‘Menurut kami, kamu belum berhasil menyampaikan pesan kami sedikit pun. Oleh karena itu, kembali lah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan katakan kepada beliau, ‘Sesungguhnya istei-isterimu meminta sikap adil menyangkut puteri Abu Quhafah (Aisyah),.

Maka Fathimah mengatakan, ‘Demi Allah, aku tidak akan berbicara kepada beliau mengenai dirinya (untuk selamanya)”.

Aisyah berkata, “Maka istei-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Zainab binti Jahsyin, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itu dia menyertaiku dalam kedudukan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku tidak melihat seorang wanita pun di dunia ini yang lebih baik daripada Zainab, lebih bertakwa kepada Allah, lebih jujur dalam ucapan, dan lebih giat menyambung silaturahmi, lebih besar dalam bersedekah, lebih gigih dalam mengerahkan dirinya dalam beramal dan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala”.

Aisyah melanjutkan, “Lalu Zainab meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam tengah bersama Aisyah di dalam kainnya dalam keadaan seperti ketika Fathimah masuk ke rumahnya, yang sedang bersamanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengizinkannya. Lalu Zainab berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya isteri-isterimu mengutusku kepadamu untuk meminta sikap adil terhadap puteri Abu Quhafah”.

Aisyah berkata, “Kemudian dia terus berbicara tentang diriku sehingga aku merasa sesuatu tentangnya dalam diriku. Sementara aku mengawasi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengawasi pandangannya, apakah beliau mengizinkan aku untuk membela diriku. Sedang Zainab tidak berkenan sehingga dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keberatan jika aku membela diriku”.

Aisyah berkata, “Lalu aku melihatnya, aku tidak lama-lama melihatnya hingga aku pun berpaling darinya”.

Lebih lanjut, ‘Aisyah berkata, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda seraya tersenyum :

“Sesungguhnya dia adalah puteri Abu Bakar” [Hadts Riwayat Muslim]

Ibnul Qayyim rahimahullah (V/151) mengatakan : “Tidak ada keharusan untuk menyamakan di antara isteri-isteri dalam hal cinta, karena hal itu di luar kuasa manusia. Dan Aisyah Radhiyallahu ‘anha merupakan isteri yang paling dicintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari hadits-hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya tidak ada kewajiban menyamaratakan di antara para isteri dalam hal hubungan badan, karena hal tersebut tergantung pada kecintaan dan kecenderungan. Dan hal ini sudah pasti berada di tangan Allah Yang membolak-balikan hati. Dan dalam masalah ini terdapat penjelasan secara rinci, yaitu jika dia meninggalkan kecenderungan karena tidak adanya pendorong dan tidak adanya hasrat kepadanya, maka hal itu bisa dimaafkan. Dan jika meninggalkan kecenderungan dengan adanya dorongan kepadanya tetapi pendorong kepada madu lebih kuat, maka hal itu masih berada dibawah kendali dan kekuasannya, karenanya jika dia menunaikan kewajiban padanya, maka tidak ada lagi hak baginya (isteri) dan tidak ada keharusan kepadanya (suami) untuk menyamaratakan. Dan jika dia (suami) meninggalkan yang wajib darinya (siteri), maka dia berhak menuntut hal itu darinya (suami)”.

Syaikh Mushthafa Al-Adawi hafizhahullah memberikan dua peringatan.

Peringatan pertama : Persamaan dalam hal hubungan badan meskipun hal itu wajib, hanya saja dia disunnahkan untuk bersikap adil dalam masalah tersebut. Dan hal itu lebih baik dan sempurna serta lebih jauh dari kecenderungan yang berlebih-lebihan. Dan hal tersebut telah dikemukakan oleh sejumlah ulama.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan di dalam kitab Al-Mughni (VII/35), ‘Jika dimungkinkan untuk melakukan penyamaan antara keduanya dalam hal hubungan badan, maka yang demikian itu lebih baik dan tepat. Dan demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan’.

Di dalam kitab Al-Majmuu Syarh Muhadzdzab (XVI/430) disebutkan, ‘Disukai lagi seorang suami yang memberikan giliran di antara isteri-isterinya untuk menyamaratakan dalam hal bersenang-senang (hubungan badan), karena yang demikian itu lebih sempurna dalam hal keadilan”.

Di dalam kitab yang sama (XVI/433) juga disebutkan, “…. Hanya saja yang disukai adalah menayamakan di antara mereka dalam hal hubungan badan, karena hal itu yang menjadi tujuan”.

Peringatan kedua : Seorang suami harus memenuhi kebutuhan biologis isterinya sesuai dengan kemampuannya. Sebab, jika dia tidak mengamankan isterinya dari kerusakan, maka yang demikian itu bisa jadi akan menjadi sebab permusuhan, kebencian, dan perpecahan di antara keduanya” [1]

[Disalin dari buku Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Penerjemah Abdul Ghoffar EM]
_________
Foote Note
[1]. Fiqhu Ta’addudi Az-Zaujaat, hal.95

Sumber: http://almanhaj.or.id/content/1992/slash/0/poligami-tidak-ada-kewajiban-bagi-suami-untuk-menyamaratakan-dalam-hal-cinta-dan-hubungan-badan/