Senin, 22 April 2013

'Iddah


KITAB NIKAH

Oleh
Syaikh Abdul Azhim bin Badawi al-Khalafi


‘Iddah
Definisi ‘Iddah
Al-‘Iddah berasal dari kata al-‘adad dan al-ihsha (bilangan) maksudnya bilangan hari yang dihitung oleh isteri.

Sedangkan secara istilah bahwa ‘iddah ialah masa seorang wanita menunggu untuk dibolehkannya nikah lagi, setelah kematian suami atau cerai, baik dengan lahirnya anak, dengan quru’ atau dengan bilangan beberapa bulan.

Macam-Macam ‘Iddah
Seorang isteri yang ditinggal mati suaminya maka ‘iddahnya ialah selama empat bulan sepuluh hari, baik suami telah mencampurinya ataupun belum, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا

"Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari." [Al-Baqarah: 234]

Kecuali jika isteri yang telah dicampuri dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah sampai melahirkan anak.

Allah Ta’ala berfirman:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

"Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." [Ath-Thalaaq: 4]

Dari al-Miswar bin Makhramah bahwa Subai’ah al-As-lamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meminta izin untuk menikah, maka beliau mengizinkannya, kemudian ia menikah.[1]

Sedangkan seorang isteri yang diceraikan oleh suaminya sebelum dicampuri, maka ia tidak mempunyai ‘iddah, karena firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya." [Al-Ahzaab: 49]

Dan isteri yang ditalak setelah dicampuri, jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya adalah dengan melahirkan, sebagaimana firman-Nya:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

"Dan wanita-wanita yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya." [Ath-Thalaaq: 4]

Dari az-Zubair bin al-‘Awwam Radhiyallahu anhu bahwasanya ia memiliki seorang isteri yang bernama Ummu Kultsum binti ‘Uqbah, ia berkata kepada suaminya dalam keadaan hamil:

طَيِّبْ نَفْسِي بِتَطْلِيقَةٍ! فَطَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ فَرَجَعَ وَقَدْ وَضَعَتْ، فَقَالَ: مَا لَهَا خَدَعَتْنِي خَدَعَهَا اللهُ. ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: سَبَقَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ، اخْطُبْهَا إِلَى نَفْسِهَا.

“Berbuat baiklah kepada diriku dengan mantalakku satu talak, maka Zubair mengabulkannya. Kemudian ia keluar untuk shalat, tatkala kembali ke rumah ia mendapati isterinya telah melahirkan. Lalu ia berkata, ‘Kenapa isteriku menipuku, semoga Allah membalasnya?!’ Kemudian Zubair mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut. Beliau bersabda, ‘Al-Kitab telah lebih dahulu menghukumi hal ini, maka lamarlah kembali.’”[2]

Apabila ia mempunyai haidh, maka ‘iddahnya adalah tiga kali haidh, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'." [Al-Baqarah: 228]

Dan al-Quru’ adalah masa haidh, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلاَةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا.

“Bahwasanya Ummu Habibah dalam keadaan haidh. Lalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau menyuruhnya untuk meninggalkan shalat selama masa quru’nya masa haidh.” [3]

Apabila sang isteri masih kecil dan belum haidh atau sudah tua dan terputus masa haidhnya, maka ‘iddahnya adalah selama tiga bulan. Allah Ta’ala berfirman:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِن نِّسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

"Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." [Ath-Thalaaq: 4]

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Isteri Yang Ditinggal Mati Suaminya ?
Ia harus melakukan ihdad sampai masa ‘iddahnya selesai.
Dan yang dimaksud dengan ihdad adalah meninggalkan berhias dan berwangi-wangian, menanggalkan perhiasan dan tidak memakai pakaian yang berwarna-warni serta tidak boleh mengecat kukunya dengan pacar dan mencelak mata.

Dari Ummi ‘Athiyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata:

كُنَّا نُنْهَى أَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ إِلاَّ عَلَى زَوْجٍ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا وَلاَ نَكْتَحِلَ وَلاَ نَتَطَيَّبَ وَلاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوغًا إِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ وَقَدْ رُخِّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ إِذَا اغْتَسَلَتْ إِحْدَانَا مِنْ مَحِيضِهَا فِي نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ أَظْفَارٍ وَكُنَّا نُنْهَى عَنِ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ.

“Dahulu kami (kaum wanita) dilarang berkabung atas kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka masa berkabungnya adalah sela-ma empat bulan sepuluh hari, kami tidak boleh mencelak mata, tidak menggunakan wangi-wangian, tidak boleh berpakaian warna-warni kecuali kain ‘ashab, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan kepada kami apabila salah seorang di antara kami telah suci dan telah mandi, maka kami dibolehkan menggunakan kistu azhfar (semacam wangi-wangian yang biasa digunakan wanita untuk membersihkan bekas haidhnya), dan kami dilarang untuk mengikuti jenazah.” [4]

Dan dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمُتَوَفَّى عَنْهَا زَوْجُهَا لاَ تَلْبَسُ الْمُعَصْفَرَ مِنَ الثِّيَابِ وَلاَ الْمُمَشَّقَ وَلاَ الْحُلِيَّ وَلاَ تَخْتَضِبُ وَلاَ تَكْتَحِلُ.

“Seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, maka ia tidak boleh memakai pakaian yang berwarna-warni, tidak memakai perhiasan, tidak mengecat kukunya dengan pacar dan tidak mencelak matanya.” [5]

Apa Yang Harus Dilakukan Oleh Isteri Yang Masih Dalam Masa ‘Iddah Dari Talak Raj’i?
Ia harus tinggal di rumah suami sampai masa ‘iddahnya selesai dan ia tidak boleh keluar rumah sebagaimana suami juga tidak boleh mengeluarkannya dari rumah. Hal ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ

"Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allah, Rabb-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang." [Ath-Thalaaq: 1]

Isteri Yang Ditalak Ba-in
Seorang isteri yang telah ditalak ba-in maka ia tidak men-dapatkan tempat tinggal maupun nafkah, sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Fathimah binti Qais Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam menghukumi isteri yang telah ditalak tiga, beliau bersabda, “Ia tidak berhak mendapatkan sukna (tempat tinggal) maupun nafkah.”[7] Dan ia harus menunggu masa ‘iddahnya dirumah keluarganya serta tidak boleh keluar kecuali karena keperluan.

Dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu, ia berkata:

طُلِّقَتْ خَالَتِيْ، فَأَرَادَتْ أَنْ تَجِدَ نَخْلَهَا فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ، فَأَتَتِ النَبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَـالَ: بَلَى، فَجُدِّي نَخْلَكِ، فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تُصَدِّقِيْ أَوْ تَفْعَلِيْ مَعْرُوْفًا.

“Saudara perempuan ibuku telah dicerai dan ia ingin memotong pohon kurmanya namun ada seseorang yang melarangnya keluar rumah. Lalu ia menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda, ‘Boleh, potonglah kurmamu, sebab engkau mungkin bisa bersedekah atau berbuat kebaikan (dengan kurma itu.)’” [9]

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah Team Tashfiyah LIPIA - Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Cetakan Pertama Ramadhan 1428 - September 2007M]
_______
Footnote
[1]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/470, no. 5320), Shahiih Muslim (II/1122, no. 1485).
[2]. Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1646)], Sunan Ibni Majah (I/ 653, no. 2026).
[3]. Shahih lighairihi: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 252)], Sunan Abi Dawud (I/463, no. 278).
[4]. Muttafaq ‘alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/491, no. 5341), Shahiih Muslim (II/1128, no. 938 (67)), dan yang semisalnya: Sunan Abi Dawud (VI/ 411, no. 2285), Sunan an-Nasa-i (VI/203), Sunan Ibni Majah (I/674, no. 2087).
[5]. Shahih: [Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 202)], Sunan Abi Dawud (VI/413, no. 2287), Sunan an-Nasa-i (VI/203) tanpa menyebutkan lafazh al-Hulli.
[6]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 888)], Shahiih Muslim (II/1118, no. 1480 (44)).
[7]. Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (no. 2134)], Shahih Muslim (II/1121, no. 1483), Sunan an-Nasa-i (II/209), Sunan Abi Dawud (VI/398, no. 2280) dengan riwayat yang semisal, Sunan Ibni Majah (I/656, no. 2034).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar