Jumat, 12 April 2013

Berpegang Dengan Kebenaran


(Manhaj: Majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VIII)


Allâh Ta'ala berfirman:

Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar
agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama,
meskipun orang-orang musyrik benci.
(Qs Ash Shaf/61:9)



Dalam ayat ini, Allâh Ta'ala memberikan nikmat kepada semua manusia dengan mengutus Rasul dan Nabi terbaik kepada mereka dengan membawa sebaik-baik kitab dan risalah-Nya; yang mencakup penjelasan antara yang haq dan bathil, ilmu yang bermanfaat, amal shalih dan semua yang dibutuhkan oleh hamba demi kemaslahatannya di dunia dan akhirat, agar Allâh Ta'ala meninggikan di atas semua agama dengan hujjah (argumen) dan penjelasan, dan agar Allâh Ta'ala memenangkan orang-orang yang teguh melaksanakannya dengan pedang dan panah.

Allâh Ta'ala memerintahkan kepada kaum mukminin agar berpegang teguh dengan agama yang benar dan manhaj yang jelas ini, dalam semua urusan mereka, supaya mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allâh Ta'ala memperingatkan kepada mereka agar tidak berpaling atau berpegang dengan agama yang lain.

Allâh Ta'ala berfirman:

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu
dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.
Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).
(QS Al A’raf/7 :3)



Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud (dengan kata mâ, Red) adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah; karena ia sebagai penjelas dan tafsir bagi Al-Qur’an.

Firman Allâh Ta'ala :

dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya

Maksudnya ialah janganlah kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin dan mengikuti hawa nafsu mereka dan meninggalkan al-haq karenanya.

Banyak dalil-dalil syara’, atsar dari para sahabat, para tabi’in dan para imam kaum muslimin yang memotivasi agar berpegang teguh dengan wahyu dan petunjuk yang dibawa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tanpa membantahnya dengan perkataan manusia, meskipun orang itu memiliki derajat dan kedudukan tinggi. Apalagi sampai mendahulukan perkataan dan pendapat mereka daripada firman Allâh Ta'ala dan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.

Bagi setiap mukallaf, wajib untuk mengikuti kebenaran apabila jelas baginya tanpa tergantung kepada seseorang dalam menerima kebenaran. Banyak nash-nash (teks-teks) yang menunjukkan, bahwa jalan keselamatan bisa dicapai dengan berpegang kepada kebenaran, bukan kepada pribadi-pribadi (tertentu, Red). Berdasarkan dengan kebenaran, perkataan-perkataan dan pendapat-pendapat itu ditimbang, sehingga menjadi jelas benar atau salahnya suatu perkataan dan pendapat.

Adapun bergantung kepada orang-orang tertentu, mengikuti perkataan, pendapat dan ijtihad mereka kemudian langsung menerimanya tanpa melihat kesesuaiannya dengan kebenaran yang dibawa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dari Allâh Ta'ala, maka demikian ini merupakan cara yang berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Salafush Shalih.

Dikatakan oleh Imam Syatibi rahimahullâh,

”Menjadikan seseorang sebagai hakim, tanpa memandang keberadaannya sebagai perantara hukum syar’i yang dituntut secara syar’i, sesungguhnya merupakan kesesatan. Dan hujjah penentu dan hakim tertinggi adalah syari’at, bukan yang lainnya. Kemudian kami katakan, demikianlah manhaj para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, dan siapa saja yang membaca sejarah dan nukilan-nukilan dari mereka serta mempelajari keadaan mereka, pasti akan mengetahui hal ini dengan ilmu yang yakin.”

Beliau rahimahullâh juga berkata,

”Sungguh, kebanyakan orang tersesat akibat berpaling dari dalil-dalil dan (kemudian) bergantung kepada manusia. Mereka keluar dari (pemahaman, Pent) para sahabat dan tabi’in. Mereka memperturutkan hawa nafsu dengan tanpa ilmu, sehingga keluar dari jalan yang lurus.”

Beliau rahimahullâh juga mengatakan, bahwa mengekor kepada pribadi-pribadi merupakan ciri orang sesat.



DALIL-DALIL WAJIBNYA BERPEGANG KEPADA KEBENARAN

Di bawah ini, terdapat beberapa dalil syari’i dan atsar-atsar tentang kewajiban berpegang teguh kepada kebenaran dan mengenyampingkan ketergantungan kepada pribadi-pribadi tertentu. Allâh Ta'ala berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya.
Dan bertaqwalah kepada Allâh.
Sesungguhnya Allâh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Qs Al-Hujurat/49:1)



Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullâh berkata,

”Ayat ini memuat adab kepada Allâh, Rasul-Nya, mengagungkan, menghormati serta memuliakan-Nya. Allâh memerintahkan kepada kaum mukminin dengan sesuatu yang menjadi konsekwensi keimanan mereka kepada Allâh dan Rasul-Nya. Yaitu dengan menjalankan perintah-perintah Allâh dan menjauhi larangan-Nya. Dan hendaknya mereka berjalan mengikuti perintah Allâh , mengikuti Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam semua urusan, tidak mendahului Allâh dan Rasul-Nya; tidak mengatakan sesuatu, sehingga Allâh mengatakannya. Mereka tidak memerintahkan, sehingga Allâh memerintahkannya."

Disini juga terdapat larangan yang keras mendahulukan perkataan selain Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam daripada sabdanya. Apabila Sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah jelas, maka wajib mengikuti dan mendahulukannya daripada perkataan yang lainnya, siapapun juga.

Allâh Ta'ala berfirman,

Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul,
sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.
Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad).
Barangsiapa yang berbalik ke belakang,
maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allâh sedikitpun;
dan Allâh akan memberi balasan kepada orangorang yang bersyukur.
(Qs Ali Imran/3:144)



Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullâh mengatakan :

“Dalam ayat yang mulia ini terdapat petunjuk dari Allâh untuk para hamba agar kokoh dalam satu kondisi, tidak goyah keimanannya atau sebagian konsekwensi keimanannya akibat kevakuman pemimpin, walaupun itu sulit. Demikian ini tidak dapat direalisir, kecuali dengan mempersiapkan semua urusan agama dengan sejumlah orang yang memiliki kemampuan. Apabila hilang salah satunya, maka ada orang lain yang menggantikan. Dan hendaknya semua kaum mukmin memiliki tujuan menegakkan agama Allâh dan berjihad semampunya. Dan hendaknya mereka tidak memiliki tendensi pemimpin tertentu, dengan demikian semua urusan mereka menjadi stabil”.

Hadits Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :

Umar bin Khathab radhiyallâhu'anhu (datang) kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
sambil membawa sebuah kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab.
Kemudian Nabi dibacakan kitab tersebut.
Nabi marah dan bersabda,
”Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada di dalamnya, wahai putra Khathab?
Demi Dzat, yang jiwaku berada ditangan-Nya.
Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu yang jelas.
Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu hal,
karena (mungkin, Red) mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran,
akan tetapi kalian mendustakannya.
Atau mereka mengabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian percaya.
Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya.
Seandainya Musa masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku.
(HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan dinyatakan hasan oleh Al Albani)



Dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, beliau berkata : Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

Janganlah kalian merasa heran dengan amalan seseorang,
sehingga kalian melihat amalan akhir hayatnya,
karena mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan amalan yang shalih,
yang seandainya ia mati, maka ia masuk surga.
Akan tetapi ia berubah dan mengamal perbuatan yang jelek.
Dan mungkin seseorang beramal pada suatu waktu dengan suatu amalan jelek,
yang seandainya ia mati, maka akan masuk neraka.
Akan tetapi ia berubah dan beramal dengan amalan shalih.
Maka apabila Allâh menginginkan satu kebaikan kepada seorang hamba,
Allâh akan menunjukinya sebelum ia meninggal
dan memberikan taufik kepadanya untuk beramal shalih.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam kitab As-Sunnah 1/174.
Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”)



Juga dari beliau (Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu), Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

Janganlah kalian merasa heran dengan seseorang
sampai kalian mengetahui dengan amal apa ia mengakhiri hidupnya.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim,
Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”)



Juga dari beliau (Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu), Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

Akan keluar atau akan ada pada kalian satu kaum
yang beribadah dan taat beragama,
sehingga kalian merasa takjub dengan mereka
dan mereka bangga dengan diri mereka.
Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak panah dari busurnya.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim,
Syaikh Al Albani mengatakan,”Sanadnya shahih.”)



TIGA HAL YANG MENGHANCURKAN AGAMA

Dari Umar bin Khathab radhiyallâhu'anhu, beliau berkata bahwa Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

Tiga hal yang menghancurkan agama;
kesalahan seorang ‘alim,
perdebatan orang munafiq dengan menggunakan Al-Qur’an
dan para imam yang menyesatkan.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi)



Dari Abu Darda’ radhiyallâhu'anhu, beliau berkata Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda,

Sesungguhnya diantara yang aku khawatirkan atas kalian,
adalah kesalahan orang yang ‘alim,
perdebatan orang munafiq dengan Al-Qur’an.
Sementara Al-Qur’an adalah sebuah kebenaran,
di atasnya ada cahaya seperti rambu-rambu bagi jalan.
(Dikeluarkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Jami’ Bayan Ilmu Wa Fadlihi)



Dan dari Ibnu Abbas radhiyallâhu'anhu, dia mengatakan :

”Celakalah orang-orang yang mengekor karena kesalahan-kesalahan orang ‘alim.”

Beliau ditanya :

“Bagaimana itu bisa terjadi?”

Beliau berkata,

”Seorang ‘alim berkata tentang sesuatu berdasarkan pendapatnya, kemudian sang pengikut mendapatkan orang yang lebih tahu tentang Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dari imamnya, tapi ia meninggalkan perkataan orang yang lebih tahu tersebut, kemudian pengikut itu berlalu.”

Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu berkata,

”Janganlah kalian mengambil seseorang sebagai tauladan, karena kadang seseorang beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia berbalik karena ilmu Allâh dan beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia mati, sehingga menjadi ahli neraka. Dan kadang seseorang beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia berbalik karena ilmu Allâh dan beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia mati, lalu ia menjadi ahli surga. Kalaupun engkau harus mengikuti seseorang, maka ikutilah orang-orang yang sudah mati bukan orang yang masih hidup.
(Al Jami’, Ibnu Abdil Barr)



TAULADAN TERBAIK

Ibnu Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata,

”Ingatlah. Jangan sekali-kali salah seorang diantara kalian bertaqlid kepada seseorang dalam masalah agama; jika panutannya beriman, ia ikut beriman; dan jika panutannya kufur, ia ikut kufur. Sesungguhnya tidak ada tauladan pada manusia”. (Al Jami’, Ibnu Abdil Barr)

Beliau radhiyallâhu'anhu juga berkata:

“Barangsiapa diantara kalian yang ingin menjadikan seseorang sebagai panutan, maka jadikanlah orang yang sudah mati sebagai panutan. Karena yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Mereka (yang sudah mati itu, Red) adalah para sahabat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Mereka adalah orang-orang yang paling utama (generasi terbaik) dari umat ini, hati mareka paling bertaqwa, paling dalam ilmunya, dan paling sedikit menyusahkan diri. Allâh memilih mereka untuk menemani NabiNya, menegakkan agamaNya. Maka, fahamilah keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka. Sesungguhnya mereka berada diatas jalan yang lurus.”

Abdullah bin Mubarak rahimahullâh berkata,

”Bisa jadi seseorang yang memiliki kebaikan dan atsar yang baik dalam Islam, terjatuh kepada kekeliruan dan kesalahan, maka janganlah diikuti kesalahan serta kekeliruan orang tersebut.”

Imam Malik rahimahullâh berkata:

"Tidaklah setiap perkataan orang itu harus diikuti, walaupun ia memiliki keutamaan, berdasarkan Firman Allâh Ta'ala,

yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
(QS Az Zumar:18)

Az Zuhri rahimahullâh berkata:

"Para ulama kita terdahulu mengatakan,”Berpegang teguh dengan Sunnah adalah keselamatan, dan ilmu akan dicabut dengan cepat. Hidupnya ilmu, berarti kekokohan agama dan dunia, sedangkan hilangnya ilmu, berarti kepunahan semua itu.”

Al Auza’i rahimahullâh mengatakan,

”Dikatakan, lima hal yang ditempuh oleh para sahabat Nabi dan para tabi’in; berpegang teguh dengan jama’ah, mengikuti Sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al Qur’an dan berjihad dijalan Allâh.”

Mujahid rahimahullâh mengatakan,

’Tidak ada seorangpun perkataannya (boleh, Red) diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”

Ibnu Khuzaimah rahimahullâh berkata,

”Tidaklah ada seseorangpun yang boleh berkata, kecuali bila telah benar kabar dari Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam .”



BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH

Selayaknya bagi yang ingin mencari kebenaran dan mengikuti Sunnah agar mengikatkan dirinya dengan dasar yang agung dan jalan yang jelas ini. Yaitu berpegang teguh dengan Sunnah dan mengikuti pemahaman para salafush shalih, berupa pengagungan terhadap dalil-dalil dan tidak mempertentangkannya dengan perkataan siapapun, apalagi mendahulukan perkataan orang atas dalil tersebut. Dan hendaknya tidak tertipu dengan kebaikan seseorang ataupun dengan amalan seseorang. Karena orang yang masih hidup tidak aman dari fitnah. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang diikuti adalah Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dan para sahabatnya radhiyallâhu'anhum, yang Allâh Ta'ala telah memberikan tazkiyah (pengakuan, Red.) kepada mereka.

Allâh Ta'ala telah berfirman di dalam kitab-Nya (A-Qur'an) dan Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah wafat. Allâh Ta'ala ridha atas mereka (para sahabat radhiyallâhu'anhum) dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik.

Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam telah bersabda tentang mereka:

Sebaik-baik generasi adalah generasiku,
kemudian yang setelahnya,
kemudian yang setelahnya.
(Muttafaq ‘alaih)



Semoga bermanfaat.


Oleh: Doktor Walid Ar Rabi’ (diterjemahkan oleh Adi Abdul Jabbar dari Majalah Al Furqan edisi 254 dan 255)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar