Rabu, 17 September 2014

Melegalkan Maksiat dengan Alasan Takdir

 
Segala puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya dengan baik hingga hari kiamat. Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, seringkali kita menemukan sebagian orang melegalkan kemaksiatan dengan alasan perbuatan tersebut sudah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Benarkah keyakinan seperti ini? Dengan memohon pertolongan Allah, tulisan ringkas ini akan memaparkan hukum orang yang menjadikan takdir sebagai alasan untuk melegalkan maksiat.
 
Hakikat Iman Kepada Takdir
Iman kepada takdir adalah seorang hamba mengetahui, meyakini, dan mengimani bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini merupakan ciptaan Allah, segala sesuatu telah didahului oleh takdir, dan Allah Maha Mengetahui keadaan serta rincian sebelum menciptakannya, kemudian Allah menuliskan semua itu. [1]
Iman kepada takdir Allah terdiri dari 4 tingkatan. Tingkatan pertama, meyakini bahwasanya Allah Ta’ala mengetahui segala sesuatu secara global maupun rinci, sejak azali hingga selamanya, baik yang berhubungan dengan perbuatan Allah atau dengan perbuatan hamba-Nya. Tingkatan kedua, meyakini bahwasanya Allah telah menuliskan semua itu di al-Lauh al-Mahfuzh. Tingkatan ketiga, meyakini bahwasanya seluruh kejadian tidaklah terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Tingkatan keempat, meyakini bahwasanya segala sesuatu yang ada di jagat raya adalah ciptaan Allah baik dzat, sifat, ataupun gerakannya. [2]
 
Bermaksiat Dengan Alasaan Takdir
Keimanan terhadap takdir Allah tidaklah menafikan adanya kehendak bagi seorang hamba untuk melakukan suatu perbuatan. Hal ini berdasarkan dalil syar’i dan kenyataan yang ada. Mengenai penetapan adanya kehendak atau kemauan bagi manusia, Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an,
ذَلِكَ الْيَوْمُ الْحَقُّ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ مَآبًا
Artinya: “Itulah hari yang pasti terjadi. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (QS. An Naba’: 39).
Allah Ta’ala juga berfirman,
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
Artinya: “(yaitu) Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (QS. At Takwir: 28).
Kenyataan yang ada juga menunjukkan bahwa setiap manusia mengetahui dirinya memiliki kehendak dan kemampuan yang dengannya seseorang dapat memutuskan untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukannya.
Keimanan terhadap takdir Allah tidaklah dapat menjadi alasan bagi seorang hamba untuk meninggalkan kewajiban atau melakukan kemaksiatan. Dan alasan tersebut adalah batil dilihat dari beberapa sisi, diantaranya:
Pertama, firman Allah Ta’ala,
سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلا آبَاؤُنَا وَلا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ كَذَلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ حَتَّى ذَاقُوا بَأْسَنَا
Artinya: “Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan,  ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun’. Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami.” (QS. Al An’am: 148).
Ayat ini menunjukkan bahwa meskipun mereka beralasan dengan takdir, Allah tetap menyiksa mereka. Maka, perbuatan orang-orang musyrik tersebut tidak diperbolehkan dalam syari’at karena Allah menyiksa mereka. Jika perbuatan mereka benar tentu Allah tidak akan menyiksa mereka.
Kedua, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dengan lafazh dari Al Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya),
“Tidak ada seorang pun diantara kalian kecuali telah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau pun surga.” Maka seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kalau begitu apakah kami bersandar dengan apa yang telah ditetapkan untuk kami?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan, tetap beramallah kalian! Sebab semuanya telah dimudahkan.” Beliau kemudian membaca ayat,
فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى
Artinya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa,” (QS. Al Lail : 5).
Dan dalam riwayat Muslim (artinya),“Sebab semuanya telah dimudahkan terhadap apa yang ditakdirkan untuknya.”
Dari hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk beramal dan melarang bersandar kepada takdir. [3]  
 
Tidak Semua Hal yang Allah Kehendaki, Allah Cintai
Iradah (kehendak) Allah terdiri dari dua jenis, yaitu iradah kauniyyah dan syar’iyyah. Iradah syar’iyyah adalah kehendak Allah untuk segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya. Sedangkan iradah kauniyyah adalah kehendak Allah atas segala hal yang terjadi, [4] termasuk di dalamnya adalah segala perbuatan hamba. Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya Allah tidaklah mencintai dan tidak meridhoi perbuatan maksiat yang telah dilakukan oleh seorang hamba meskipun Allah menghendaki hal tersebut terjadi.
 
Antara Kehendak Allah dan Kehendak Makhluk
Perlu diketahui bahwa dalam melakukan suatu perbuatan, seorang hamba tidak begitu saja dapat melakukan apa pun sesuai kehendak dan kemampuannya. Allah Ta’ala menggantungkan dan mengikat kehendak hamba dengan kehendak-Nya. Para salaful ummah dan imam-imam mereka meyakini bahwa seluruh perbuatan ketaatan, kemaksiatan, kekufuran, dan kerusakan, terjadi sesuai qadha’ (ketentuan) dan takdir Allah, bukan selain-Nya. Semua perbuatan hamba merupakan ciptaan Allah, yang baik maupun yang buruk, yang terpuji maupun yang tercela. [5]
 
Sikap Ahlussunnah dalam Menyikapi Takdir dan Perbuatan Hamba
Ahlussunnah meyakini bahwa setiap ketaatan, kemaksiatan, kekufuran, dan kerusakan terjadi karena takdir Allah. Tidak ada pencipta selain-Nya. Seluruh perbuatan hamba diciptakan Allah, baik berupa amal shalih maupun amal buruk. Akan tetapi, seorang hamba tidaklah dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Bahkan dialah yang mengerjakan dan melakukannya atas dasar kesadaran dan kemampuan untuk memilih perbuatan yang mengantarkan mereka kepada ketaatan atau kemaksiatan. Hanya saja, semua terjadi atas kemampuan, keperkasaan, dan kehendak Allah Ta’ala. [6]
 
Kelompok yang Menyimpang Dalam Masalah Ini
Dalam menyikapi masalah takdir, terdapat beberapa kelompok yang memiliki pemikiran yang menyimpang. Jabriyah menyatakan bahwa manusia dipaksa dalam melakukan perbuatannya dan tidak memiliki kehendak dan kemampuan. Sebaliknya golongan Qadariyah berpandangan bahwa manusia memiliki kehendak mandiri yang tidak tergantung kepada kehendak Allah, bahkan manusia yang menciptakan perbuatan, kemauan, dan kehendaknya yang terlepas dari kemauan dan kehendak Allah. Tetapi syubhat tersebut dapat dipatahkan dengan firman Allah Ta’ala,
لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ
Artinya: “(yaitu) Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.” (QS. At Takwir: 28).
Ayat ini membantah kelompok Jabriyah yang berpandangan bahwa manusia dipaksa atas perbuatannya, padahal Allah telah menetapkan bahwa manusia memiliki kemauan dan kehendak. Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa manusia dipaksa atas perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman pada ayat selanjutnya,
وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya: “Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir: 28).
Ayat ini membantah kelompok Qadariyah yang menyatakan bahwa manusia mandiri dalam kehendaknya dan dialah yang menciptakan perbuatannya, padahal Allah menetapkan bahwa kehendak hamba tergantung kepada kehendak-Nya. [7]
 
Demikianlah yang seharusnya diyakini dan dilakukan oleh seorang muslim dalam menyikapi takdir. Dalam penutup ini, dapat disimpulkan bahwa takdir tidaklah dapat dijadikan alasan bagi seseorang untuk melegalkan perbuatan maksiat yang dilakukannya. Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi kita untuk menempuh jalan yang lurus.
 
 
Penulis : Ummu Fathimah Maria Nova Nurfitri
 
Maraji:
[1] Syarh Ats Tsalatsatul Ushul dalam Jami’ Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 497, Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh
[2] Jami’ Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 253-254, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
[3] Jami’ Syuruh Ats Tsalatsatul Ushul, hal. 254-255, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
[4] Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah, hal. 80-81, Al Imam Al Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin Abil ‘Izzi Ad Damasyqi
[5] Al Irsyad Ila Shahihil I’tiqad Warraddi ‘ala Ahlilsyriki wal ‘Inad, hal. 227, Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan
[6] Akidah Muslim, hal. 342, Zaenal Abidin bin Syamsudin
[7] Majmu Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Akidah Muslim, hal. 342-343, Zaenal Abidin bin Syamsudin
 
 
Leave a Reply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar