Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan Yang
mempersatukan hati-hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu
membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
akan dapat mempersatukan hati-hati mereka, akan tetapi Allah
Subhanallahu wa Ta’ala telah mempersatukan hati-hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Anfal: 63)
Ayat diatas mengingatkan kita kepada sebuah kisah yang terjadi pada
zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam . Yaitu kisah perseteruan
antara suku Aus dan suku Khazraj di daerah Yatsrib (Madinah).
Perseteruan antara kedua suku tersebut telah berlangsung berpuluh-puluh
tahun lamanya yang telah banyak memakan korban jiwa dan harta. Kemudian
datanglah Islam, dan masuklah cahaya Islam ke dalam hati orang-orang Aus
dan Khazraj. Maka terwujudlah ikatan persaudaraan dan persatuan di
bawah naungan panji Islam sekaligus menghapus semangat jahiliyah serta
permusuhan diantara mereka.
Asy-Syaikh As-Sa’dy rahimahulloh
menyatakan tentang ayat diatas: “Maka mereka pun berkumpul dan bersatu
serta bertambah kekuatan mereka dengan sebab bergabungnya mereka. Dan
hal ini tidaklah terjadi karena usaha salah seorang diantara mereka dan
tidak pula oleh suatu kekuatan selain kekuatan dari Allah Subhanallahu
wa Ta’ala.
Maka kalau seandainya kamu menginfakkan seluruh
harta yang ada di muka bumi dari emas dan perak serta selain keduanya
dalam rangka untuk menyatukan mereka yang bercerai-berai dan saling
berselisih, niscaya kamu tidak akan dapat mempersatukan hati-hati
mereka. Karena tidaklah ada yang mampu untuk menyatukan hati-hati
(manusia) kecuali hanya Allah Subhanallahu wa Ta’ala semata.” (Tafsir
As-Sa’dy, hal.325)
Keutamaan Ukhuwwah
Ukhuwwah
merupakan anugerah yang agung dan mahal dari Allah Subhanallahu wa
Ta’ala. Dan ini merupakan nikmat dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala
kepada para hamba-Nya yang mukmin, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan ingatlah akan nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada kalian
ketika kalian dahulu (pada masa Jahiliyah) saling bermusuhan, maka Allah
Subhanallahu wa Ta’ala mempersatukan hati-hati kalian, lalu menjadilah
kalian karena nikmat Allah Subhanallahu wa Ta’ala, orang-orang yang
bersaudara; dan kalian telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
Subhanallahu wa Ta’ala menyelamatkan kalian dari padanya.” (Ali Imran:
103)
Sebagian ulama ahli tafsir berkata tentang firman Allah
Subhanallahu wa Ta’ala dalam ayat tersebut: “Di dalamnya terdapat
isyarat bahwa tumbuhnya ukhuwwah danmahabbah (kecintaan) antara kaum
mukminin adalah semata-mata karena keutamaan dari Allah Subhanallahu wa
Ta’ala.”
Dan disabdakan pula oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dalam sebuah hadits:
“Sesungguhnya Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan berkata nanti pada hari
kiamat: ‘Dimanakah orang-orang yang menjalin persaudaraan karena-Ku,
maka pada hari ini Aku akan menaunginya pada hari dimana tidak ada
sebuah naungan kecuali hanya naungan-Ku’.” (HR. Muslim)
Hak-hak di dalam Ukhuwwah
Setelah kita mengetahui betapa agung dan mahalnya nilai sebuah
ukhuwwah, maka kita harus berusaha semaksimal mungkin agar anugerah dari
Allah Subhanallahu wa Ta’ala tersebut tetap terjaga dan terpelihara
pada diri kita. Diantara usaha yang harus ditempuh agar ukhuwwah
tersebut tetap terjaga pada diri kita, maka kita perlu memperhatikan
hak-hak dalam ukhuwwah. Hak-hak tersebut adalah:
1. Hendaklah ia mencintai saudaranya semata-mata karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan bukan karena tujuan-tujuan duniawi.
Hendaklah kita mengikhlaskan niat di dalam ukhuwwah, kita mencintai
saudara kita karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala dan bukan karena
tujuan-tujuan duniawi. Jika seseorang mencintai saudaranya karena Allah
Subhanallahu wa Ta’ala, maka kecintaan tersebut akan tetap lestari. Jika
ia melakukannya karena tujuan duniawi, maka lambat laun kecintaan
tersebut akan pupus di tengah jalan. Disebutkan dalam sebuah hadits yang
shahih tentang 3 hal yang bila ketiganya ada pada diri seseorang, maka
ia akan merasakan manisnya keimanan. Salah satu diantaranya adalah:
“…Dan yang ia mencintai saudaranya, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala…” (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Lebih mendahulukan untuk membantu saudaranya dengan apa yang mampu dari jiwa dan harta daripada dirinya sendiri.
Tidak diragukan lagi bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, masing-masing
individu memiliki strata sosial yang berbeda-beda. Antara yang satu
dengan yang lainnya saling membantu. Yang kaya membantu yang miskin dan
yang miskin membantu yang kaya. Yang memiliki kedudukan akan membantu
orang yang tidak memiliki kedudukan, dan sebagainya. Semua ini adalah
sebuah ketetapan Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas para hamba-Nya. Jika
memang demikian keadaannya, maka diantara hak dalamukhuwwah sesama
muslim adalah membantu saudaranya dengan mencurahkan apa yang ia mampu
dari potensi yang ada pada dirinya atau harta yang dimilikinya.
Hakikat dari persaudaraan adalah lebih mendahulukan kepentingan
saudaranya daripada kepentingan dirinya sendiri (Al-Itsar). Allah
Subhanallahu wa Ta’ala telah memuji sifat orang-orang Anshar yang lebih
mengutamakan kebutuhan orang-orang Muhajirin padahal mereka sendiri
sangat membutuhkan, sebagaimana firman-Nya (artinya):
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” (Al-Hasyr: 9)
Sifat “Al-Itsar” termasuk dari hak ukhuwwah yang hukumnya mustahab
(sunnah). Jika seseorang bisa meraih sifat tersebut, maka sungguh hal
itu merupakan kebaikan baginya. Namun bila tidak bisa meraihnya, maka
paling tidak ia berusaha untuk membantu saudaranya dengan jiwa dan
hartanya. Sebagian ulama telah mengatakan: “Sesungguhnya termasuk dari
adab dalam membantu saudaranya adalah hendaklah ia tidak menunggu sampai
saudaranya meminta bantuan sesuatu kepadanya, namun hendaklah ia yang
memulai untuk mencari apa yang dibutuhkan saudaranya yang dicintainya
karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”
Diceritakan pada zaman
dahulu bahwa sebagian ulama mencari informasi tentang sesuatu yang
dibutuhkan oleh saudaranya tanpa saudaranya tersebut mengetahuinya.
Kemudian setelah itu, ia memasukkan harta ke dalam rumah saudaranya
tanpa sepengetahuan saudaranya.
Sebagaimana kisah Ar-Rabi’ bin
Khutsaim rahimahulloh. Suatu ketika, ia memerintahkan keluarganya untuk
membuatkan makanan yang terbaik dari makanan yang ada. Maka dibuatlah
makanan tersebut. Kemudian setelah itu pergilah Ar-Rabi’ rahimahulloh
dengan membawa makanan tersebut ke rumah seorang laki-laki mukmin yang
buta, bisu dan tuli. Maka diberikanlah makanan tersebut dan segera
disantap sampai kenyang. Padahal laki-laki tersebut tidak pernah
mengeluhkan kebutuhannya kepada Ar-Rabi’ rahimahulloh. Demikianlah
akhlak para ulama salaf.
3. Menjaga kehormatan dan harga diri saudaranya.
Ini termasuk dari inti dan hak yang agung dalam ukhuwwah. Sesungguhnya
Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam telah memerintahkan kepada umatnya
untuk menjaga kehormatan sesama muslim. Disebutkan dalam sebuah riwayat
dari shahabat Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shalallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda dalam khutbahnya di hari ‘Arafah pada saat
haji Wada’:
“Sesungguhnya darah-darah kalian dan harta-harta
kalian serta kehormatan-kehormatan kalian haram atas kalian….” (HR.
Al-Bukhari & Muslim)
Kehormatan seorang muslim terhadap muslim yang lainnya adalah haram secara umum. Realisasi dalam hal ini ialah seperti:
1. Tidak menyebutkan ‘aib saudaranya, baik ketika ia hadir dihadapannya maupun ketika tidak ada.
2. Tidak mencampuri urusan pribadinya.
3. Menjaga rahasianya.
4. Menjauhi prasangka buruk terhadap saudaranya.
Hukum asal seorang muslim adalah taat kepada Allah Subhanallahu wa
Ta’ala, bersifat jujur, dan baik. Maka kita harus berbaik sangka kepada
saudara kita, dan harus menjauhi prasangka buruk, karena dengan
berprasangka buruk, kita bisa jatuh kedalam perbuatan dosa. Allah
Subhanallahu wa Ta’ala telah melarang perbuatan tersebut dalam
firman-Nya (artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu
dosa.” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Hati-hatilah kalian dari prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta ucapan.” (HR. Al-Bukhari & Muslim)
Umar bin Khattab radliyallahu ‘anhu berkata: “Janganlah kalian
berprasangka buruk terhadap sebuah kalimat yang keluar dari saudaramu,
sementara memungkinkan bagimu untuk membawa kalimat tersebut ke arah
kebaikan.” (Riwayat Ahmad, Az-Zuhd)
Abdullah bin Al-Mubarak
rahimahulloh berkata: “Bagi seorang mukmin, diberikan kepadanya berbagai
kemungkinan alasan yang dapat dimaafkan.”
Maka jangan sampai
kita membuka peluang bagi setan untuk masuk kemudian menghembuskan
sesuatu yang buruk kepada diri kita, sampai akhirnya berhasil memecah
belah persaudaraan sesama muslim.
5. Menjauhi perdebatan dengan saudaranya.
Sesungguhnya perdebatan akan menghilangkan sifat mahabbah (saling
mencintai) dan persahabatan. Dan akan mewariskan kemarahan, dendam dan
pemutusan ukhuwwah.
Maka meninggalkan sikap perdebatan merupakan tindakan yang terpuji. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di pihak
yang salah, maka akan dibangunkan sebuah rumah baginya di surga paling
bawah. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada
pada pihak yang benar, maka akan dibangunkan baginya sebuah rumah di
tengah surga…” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Diantara sebab yang mendorong seseorang untuk melakukan perdebatan
adalah dalam rangka memperoleh kemenangan, agar ia dikatakan sebagai
seorang yang pintar dan paling benar pendapatnya, dan kurangnya
penjagaan terhadap tergelincirnya lisan pada dirinya. Kesemuanya itu
merupakan sikap yang tidak terpuji.
6. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik kepada saudaranya.
Realisasi dalam hal ini ialah seperti:
1. Mengatakan kepada saudaranya: “Aku mencintaimu karena Allah Subhanallahu wa Ta’ala.”
2. Memuji saudaranya ketika tidak ada di hadapannya.
3. Mengucapkan terima kasih atas kebaikan saudaranya tersebut.
7. Memaafkan atas kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh saudaranya.
Setiap orang pasti memiliki kesalahan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam :
“Setiap keturunan Adam (manusia) pasti melakukan kesalahan, dan
sebaik-baik orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu
Majah no. 4251)
8. Merasa gembira dengan kenikmatan yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala berikan kepada saudaranya.
Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memberikan keutamaan dan kelebihan
yang berbeda pada masing-masing orang. Baik dalam hal kepemilikan harta,
keilmuan, banyak melakukan amalan-amalan ibadah, kebaikan akhlaknya dan
lain sebagainya. Kita patut merasa gembira dengan nikmat Allah
Subhanallahu wa Ta’ala yang diberikan kepada saudara kita baik dari sisi
harta, ilmu, semangat dalam beribadah, dan lain-lain. Kita harus
menghilangkan sifat hasad (iri, dengki) terhadap keutamaan yang
diberikan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala kepada saudara kita.
9. Saling membantu dengan saudaranya dalam perkara-perkara kebaikan.
Sungguh Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memerintahkan yang demikian dalam firman-Nya (artinya):
“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
(Al-Maidah: 2)
10. Bermusyawarah dan bersikap lemah lembut terhadap saudaranya.
Janganlah salah seorang diantara mereka bersendirian dalam memutuskan
suatu perkara, namun hendaklah saling bermusyawarah. Allah Subhanallahu
wa Ta’ala telah memerintahkan hal tersebut dalam firman-Nya (artinya):
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka.” (Asy-Syuura: 38)
Maka kita memohon kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala agar menjadikan
kita semua termasuk dari orang-orang yang saling tolong-menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan, saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan
kesabaran, serta menjadikan persaudaraan kita semata-mata karena
mengharap ridho-Nya. Dan semoga Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan
taufik-Nya kepada kita, karena sesungguhnya tidak ada daya dan upaya
pada diri kita, kecuali kekuatan dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Ämïn
yä Rabbal ‘Älamïn.
Wallähu Ta’älä A’lamu bish Shawäb.
Buletin Islam Al Ilmu Edisi No : 30/VII/VIII/1431
Tidak ada komentar:
Posting Komentar