Rabu, 19 Desember 2012

Sebuah Gerbang Untuk Pulang


Sebuah Gerbang Untuk Pulang

Wajah mana yang akan kita bawa menghadap Allah, kelak, jika lumuran dosanya yang mengerak membuatnya tak rupawan lagi? Sedang hati kita pun tak lagi bersih karena tertutup debu-debu maksiat. Juga pilihan sikap yang tepat untuk menutupi pengingkaran nikmat kita siang malam, sepanjang usia kita di dunia, di perjumpaan nanti. Atau kita malah mengharapkannya tidak terjadi, hal yang mustahil adanya?

Adakah malu, dan takut itu masih menempati sudut ruang hati kita, yang terdalam? Ataukah ia telah menghilang, tenggelam dalam kelamnya kesalahan yang menghitamkan  jiwa  karena jelaga dosa? Lirih ini sunyi meski galau ini tak sendiri. Segera menyadari dan berbenah diri tentu sangat terpuji daripada tak peduli, sebab kita tak bias menghindari.

Permualaannya bernama taubat. Gerbang pulang untuk pembebasan sejati yang menyucikan. Meluruhkan noda-noda dosa yang pernah ada, dan memberi kemampuan kita untuk tengadah mengaku salah. Inilah satu-satunya pilihan sebab menjadi tanpa cela adalah kemustahilan, sedang tidak ada yang bisa menghapuskan kecuali Dia Yang Maha Pengampun dan Penyayang.

Sayang, kita seringkalli membutuhkannya. Padahal tiada yang lebih penting daripada keyakinan akan terhapusnya kesalahan, atau minimal, berkurangnya beban jiwa yang menyiksa ini. Bahkan jauh sebelum menemui Allah, karena rasa itu menekan malam-malam kita di sini, di dunia ini.

Pada yang membutuhkan, banyak juga yang kebingungan. Taubat bergerak lambat saat tak ada lagi pilihan berkelit. Terlantur dari bibir yang sendirian serupa wasiat taubat dari hamba yang tidak memahaminya, meski bertebaran dan berulang-ulang. Taubat yang tidak memiliki akar penjiwaan dan tak mampu mengendalikan. Berakhir hampa karena menjadi sia-sia.

Karena taubat haruslah berdasar pada kesadaran. Bahwa kita sebagai hamba tak akan pernah mampu menjalankan kewajiban dan memenuhi hak Allah dengan semestinya. Terlalu banyak kekurangan, terlalu sering kita melalaikan, terlalu jauh dari standar kelayakan. Dan maksiat yang bertimbun, membuahkan ketakutan akan akibat buruknya yang pasti menanti, menjauhkan kita dari kehidupan yang berlimpah berkah, rahmah, dan maghfirah. Kehidupan yang gelisah!

Kesemuanya menuntun kita pada keinginan untuk menebus dan menghapus kesalahan. Agar kita tidak termasuk mereka yang terancam kemurkaan dan kehinaan, serta siksaan abadi yang pasti adanya. Sebab jika tidak, rasa sakitnya dosa menyesakan dada. Menyempitkan jiwa akan keluasan ampunan Allah, memungkinkan kita melakukannya berulang kali hingga kepada keadaan rumit yang sulit dilepaskan.

Biarkan jiwa sakit itu membimbing kita mencari jalan pertaubatan. Biarkan rasa sesal dan kecewa akan kegagalan memaknai hari-hari ini menerangi prosesnya. Dan biarkan semuanya berangkat dari kesadaran kita akan pentingnya taubat. Sebuah kebutuhan tak terkira yang sering kita lupakan. Ya Allah, bimbinglah kepulangan hamba dengan taubat yang Engkau terima!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar